Hadits Dho’if
A.P.I AL FADHLU / 10/03/2012 / Al hadits
Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya. Mengenai beramal dengan hadits dha’if merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin.
Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafi’kan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya. Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dho’if, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif. Namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
Hadits dho’if banyak pembagiannya. Sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian. Namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib. Inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, batil. Maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafi’kan (menghilangkan) hadits dha’if karena sebagian hadits dha’if masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap – siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.110)
Sabda beliau SAW pula : “Sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka bersiap-siaplah mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.1229).
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dho’if berarti mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw.
Wahai saudaraku, ketahuilah, bahwa hukum hadits dan ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw. Ilmu hadits itu adalah bid’ah hasanah, baru ada sejak Tabi’in. Mereka membuat syarat perawi hadits. Mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal. Namun mereka sangat berhati–hati karena mereka mengerti hukum. Bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran. Maka tak sembarang orang menjadi muhaddits. Lain dengan mereka yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.
Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi di masa kini yang mengaku–ngaku sebagai pakar hadits. Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafizh. Al Hafizh dalam ilmu hadits adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya. Sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya. Lalu bagaimana dengan yang hafal 100.000 hadits?
Di atas tingkatan Al Hafizh ini masih ada lagi yang disebut Al Hujjah (Hujjatul Islam), yaitu yang hafal 300.000 hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya. Di atasnya ada lagi yang disebut : Al Hakim, yaitu pakar hadits yang sudah melewati derajat Al Hafizh dan Al Hujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits–hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy).
Sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan matannya (rujuk Tadzkiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala dan lainnya dari buku-buku Rijalul Hadits) dan ia adalah murid dari Imam Syafi’i rahimahullah, dan di zaman itu terdapat ratusan Imam pakar hadits.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafi'i ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah. Maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam Syafi’i, dan menjatuhkan fatwa–fatwa Imam Syafi’i dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafi’i sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun. Maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits–hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini? Mereka menusuk fatwa Imam Syafi’i, menyalahkan hadits riwayat imam-imam lainnya.
Seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka? Apa yang mereka fahami dari ilmu hadits? Hanya menukil-nukil dari beberapa buku saja, lalu mereka sudah berani berfatwa. Apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku-buku terjemah, memang boleh-boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dho’if bila untuk dijadikan dalil.
Saudara–saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa dengan buku-buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada di zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa para Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para Imam adalah buku terjemahan.
Sungguh, buku-buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara, misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1.000.000 hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah atau pensyarah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak? Sungguh sudah sangat banyak hadits-hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 hadits, lalu kemana hadits hadits itu? Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits No.27.688, maka kira kira 970.000 hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…!
Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya? Lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan? Mengapa? Tentunya di masa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan. Bayangkan saja, seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid–muridnya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah di malam hari, harus pula menyempatkan waktu untuk menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair di tengah redupnya cahaya lilin atau lentera. Atau hadits-hadits itu ditulis oleh murid–muridnya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.
Bayangkan, betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan.
Penyebaran ilmu di masa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.
Oleh sebab itu, sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.
Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru–guru yang bersambung hingga Rasul saw dan kau betul-betul mengetahui bahwa ia benar-benar memanut gurunya.
Hingga kini, kita ahlus sunnah wal jamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku–buku. Walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata. Kita berpedoman kepada guru–guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga Nabi saw.
Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya? Cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya. Lalu ucapan fatwa–fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid–muridnya dan ratusan imam dan Al Hafizh dan Hujjatul Islam sesudah beliau. Maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada-ada dan membuat- buat hukum semaunya. Jika ia salah dalam fatwanya, mestilah sudah diperbaiki dan dibenahi oleh ratusan imam sesudahnya.
Maka muncullah di masa kini pendapat-pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca satu, dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam Hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa–fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana imam–imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam–imam berikutnya, sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di gelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Berkata pula Imam Ats Tsauri : “Sanad adalah senjata orang mu`min, maka bila kau tak punya senjata, maka dengan apa kau akan berperang?”
Berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)
Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi. Semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati-hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka fahamlah kita, bahwa mereka yang segera menafi’kan atau menghapus hadits dho’if, maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya. Mereka tak tahu mana hadits dho’if yang palsu dan mana hadits dho’if yang masih tsiqah untuk diamalkan.
Contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dho’if, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya. Bila para perawinya orang-orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima. Walau tetap dho’if, namun boleh diamalkan karena perawinya orang–orang terpercaya, cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya. Maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw. Namun tetap dihukumi dhoif dan paling tidak ia adalah amalan para sahabat, yang tentu mereka tak punya guru lain selain Rasulullah saw. Dan masih banyak lagi contoh–contoh lainnya.
Masya Allah dari gelapnya kebodohan. Sebagaimana ucapan para ulama salaf : “Dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”. (walillahittaufiq)
Sumber: Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa.
Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafi’kan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya. Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dho’if, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif. Namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
Hadits dho’if banyak pembagiannya. Sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian. Namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib. Inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, batil. Maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafi’kan (menghilangkan) hadits dha’if karena sebagian hadits dha’if masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap – siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.110)
Sabda beliau SAW pula : “Sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka bersiap-siaplah mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.1229).
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dho’if berarti mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw.
Wahai saudaraku, ketahuilah, bahwa hukum hadits dan ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw. Ilmu hadits itu adalah bid’ah hasanah, baru ada sejak Tabi’in. Mereka membuat syarat perawi hadits. Mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal. Namun mereka sangat berhati–hati karena mereka mengerti hukum. Bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran. Maka tak sembarang orang menjadi muhaddits. Lain dengan mereka yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.
Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi di masa kini yang mengaku–ngaku sebagai pakar hadits. Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafizh. Al Hafizh dalam ilmu hadits adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya. Sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya. Lalu bagaimana dengan yang hafal 100.000 hadits?
Di atas tingkatan Al Hafizh ini masih ada lagi yang disebut Al Hujjah (Hujjatul Islam), yaitu yang hafal 300.000 hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya. Di atasnya ada lagi yang disebut : Al Hakim, yaitu pakar hadits yang sudah melewati derajat Al Hafizh dan Al Hujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits–hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy).
Sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan matannya (rujuk Tadzkiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala dan lainnya dari buku-buku Rijalul Hadits) dan ia adalah murid dari Imam Syafi’i rahimahullah, dan di zaman itu terdapat ratusan Imam pakar hadits.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafi'i ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah. Maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam Syafi’i, dan menjatuhkan fatwa–fatwa Imam Syafi’i dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafi’i sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun. Maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits–hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini? Mereka menusuk fatwa Imam Syafi’i, menyalahkan hadits riwayat imam-imam lainnya.
Seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka? Apa yang mereka fahami dari ilmu hadits? Hanya menukil-nukil dari beberapa buku saja, lalu mereka sudah berani berfatwa. Apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku-buku terjemah, memang boleh-boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dho’if bila untuk dijadikan dalil.
Saudara–saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa dengan buku-buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada di zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa para Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para Imam adalah buku terjemahan.
Sungguh, buku-buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara, misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1.000.000 hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah atau pensyarah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak? Sungguh sudah sangat banyak hadits-hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 hadits, lalu kemana hadits hadits itu? Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits No.27.688, maka kira kira 970.000 hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…!
Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya? Lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan? Mengapa? Tentunya di masa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan. Bayangkan saja, seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid–muridnya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah di malam hari, harus pula menyempatkan waktu untuk menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair di tengah redupnya cahaya lilin atau lentera. Atau hadits-hadits itu ditulis oleh murid–muridnya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.
Bayangkan, betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan.
Penyebaran ilmu di masa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.
Oleh sebab itu, sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.
Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru–guru yang bersambung hingga Rasul saw dan kau betul-betul mengetahui bahwa ia benar-benar memanut gurunya.
Hingga kini, kita ahlus sunnah wal jamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku–buku. Walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata. Kita berpedoman kepada guru–guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga Nabi saw.
Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya? Cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya. Lalu ucapan fatwa–fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid–muridnya dan ratusan imam dan Al Hafizh dan Hujjatul Islam sesudah beliau. Maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada-ada dan membuat- buat hukum semaunya. Jika ia salah dalam fatwanya, mestilah sudah diperbaiki dan dibenahi oleh ratusan imam sesudahnya.
Maka muncullah di masa kini pendapat-pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca satu, dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam Hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa–fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana imam–imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam–imam berikutnya, sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di gelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Berkata pula Imam Ats Tsauri : “Sanad adalah senjata orang mu`min, maka bila kau tak punya senjata, maka dengan apa kau akan berperang?”
Berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)
Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi. Semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati-hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka fahamlah kita, bahwa mereka yang segera menafi’kan atau menghapus hadits dho’if, maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya. Mereka tak tahu mana hadits dho’if yang palsu dan mana hadits dho’if yang masih tsiqah untuk diamalkan.
Contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dho’if, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya. Bila para perawinya orang-orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima. Walau tetap dho’if, namun boleh diamalkan karena perawinya orang–orang terpercaya, cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya. Maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw. Namun tetap dihukumi dhoif dan paling tidak ia adalah amalan para sahabat, yang tentu mereka tak punya guru lain selain Rasulullah saw. Dan masih banyak lagi contoh–contoh lainnya.
Masya Allah dari gelapnya kebodohan. Sebagaimana ucapan para ulama salaf : “Dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”. (walillahittaufiq)
Sumber: Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa.
Item | Hadits Dho’if |
Rating | 5 / 5 |
Reviewer | A.P.I AL FADHLU |
Date | 10/03/2012 |
Description | Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, batil. Maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafi’kan (menghilangkan) hadits dha’if karena sebagian hadits dha’if masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur. |
Summary | Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya. Mengenai beramal dengan hadits dha’if merupakan ha... |
Pada
10/03/2012
10/03/2012
Tentang Kami
A.P.I AL FADHLU : Asrama Pendidikan Islam Al Fadhlu adalah Pondok Pesantren yang masih menerapkan metode pendidikan ala salaf namun berpijak dan berprinsip pada "AL MUHAFAZHOTU 'ALAL QADIMISH SHALIH WAL AKHDZU BIL JADIDIL ASHLAH"(Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan) sebagai mottonya. Ikuti kami juga di G+ @ A.P.I AL FADHLU .
Langganan Artikel Lewat Email
Silahkan isi formulir di bawah ini
Langganan artikel terbaru dari kami langsung dikirim ke em@il anda gratis.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
: 0 Tidak ada komentar ...
Posting Komentar ANDA
Komentar Anda adalah bagian dari Shilaturrahim ... :-)