Biografi KH ALI MAKSHUM (Al Munawwir)
A.P.I AL FADHLU / 8/31/2012 / Biografi ulama' islam
Sekilas Biografi
KH ALI MAKSHUM
1. Masa Kecil KH Ali Makshum
KH Ali Maksum adalah putra pertama dari hasil perkawinan KH Ma’shum bin KH Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem, yang lahir pada tanggal 2 Maret 1915 di desa Soditan Lasem kabupaten Rembang, di tengah gencarnya kaum pembaharu (modernis) melancarkan serangan terhadap keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang dipandang menghambat kebebasan berijtihad, mengembang-kan pemikiran irrasional semacam khurafat, takhayul dan bid’ah, dan sulit diajak untuk maju.
Keluarga KH Ali Maksum, sejak dari jaman kakek-kakeknya dahulu sampai jamannya adalah keluarga besar yang kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari nilai-nilai kepesantrenan. KH Ma’shum yang terkenal dengan panggilan mBah Ma’shum ini merupakan pendiri sekaligus pengasuh pesantren Al-Hidayah di desa Soditan, Lasem, Rembang. Sejak kecil, KH Ali Maksum belajar dan dididik secara keras di pesantren ayahnya sendiri yang saat itu menjadi pusat rujukan para santri dari berbagai daerah, terutama dalam pengajaran kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya Ibnu ‘Aqil (Nahwu, Shorof dan Balaghah), dan kitab Jam’ul Jawami’. mBah Ma’shum berharap agar putranya nanti menjadi seorang ulama ahli fiqih, sehingga beliau menggembleng Ali kecil setiap harinya dengan pelajaran kitab-kitab fiqih. Sementara itu beliau juga mengajarkan kitab-kitab lainnya kepada para santri, terutama kitab-kitab ilmu nahwu, shorof dan balaghah. Akan tetapi kecenderungan Ali kecil justru lebih senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan shorof. Ali kecil kemudian belajar beberapa waktu di pondoknya KH Amir di Pekalongan.
2. Menuntut Ilmu ke Pondok Tremas.
Setelah Ali memasuki usia remaja (usia 12 tahun), mBah Ma’shum berfikir untuk menitipkan pendidikan anaknya itu kepada kiai lain yang terbilang masih temannya, yakni KH Dimyati yang memimpin pesantren Tremas Pacitan (1894 – 1934), karena tidak terbiasa orang tua mendidik anak kandungnya sendiri sampai dewasa. Pada saat itu, Pesantren Tremas yang terletak di pelosok Pacitan dan hanya dapat dicapai dengan jalan kaki beberapa lama ini merupakan pesantren yang cukup popular, terkenal dan berwibawa, disebabkan oleh tiga alasan : Pertama, pesantren Tremas secara tegas menolak dan menentang penjajah Belanda, serta berusaha menghindar dari pengaruh budayanya. Kedua, sebagian besar ahli bait (keluarga) pesantren Tremas tergolong sangat ‘alim, sehingga keberadaan Tremas saat itu sebagai gudangnya ilmu agama sangat diperhitungkan. Bukti kealiman mereka terukir dalam sejarah, dengan munculnya nama Syaikh Mahfuzh at-Tarmasi (wafat di Makkah, 1918 M) di Dunia Islam yang menjadi ulama besar berkaliber internasional di Tanah Haram, penulis produktif dan guru besar di bidang hadis Shahih Bukhari serta diberi hak untuk mengajar di Masjidil Haram. Ketiga, kegiatan ilmiah di Tremas sangat intensif, karena mendapatkan dorongan sepenuhnya dari kiai dan keluarganya. Bahkan kebebasan ilmiah yang dikembangkan pesantren Tremas berakibat pada munculnya “Madrasah” kontroversial didalam pondok pada tahun 1928 yang didirikan seorang santri senior bernama Sayyid Hasan Ba’bud, dengan tenaga pengajar yang kesemuanya berasal dari luar pesantren. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren Tremas sangat bervariasi seperti Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Minhajul Qawim, Al-Asybah wan-Nazhair, Shahih Bukhari dan Muslim, Alfiyah Ibnu Malik, dll. Mubahatsah (pembahasan) kitab berjalan setiap malam. Di samping itu didukung oleh kebijakan kiai yang memberi kesempatan kepada para santri senior yang mampu untuk mengajari santri adik kelasnya. Kondisi seperti itu lalu menumbuhkan semangat para santri untuk berkompetisi di bidang keilmuan.[1]
Dengan kondisi pesantren Tremas yang sangat mendukung pengembangan keilmuan tersebut, maka pada tahun 1927 M, Ali Maksum dikirim ke pesantren Tremas Pacitan untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Oleh KH Dimyati, Ali Maksum secara istimewa diminta untuk tidak tinggal di kamar-kamar santri pada umumnya, akan tetapi tinggal di komplek “ndalem”, yakni komplek keluarga KH Dimyati, satu kamar dengan Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmasi. Keistimewaan ini barangkali merupakan rasa hormat KH Dimyati kepada KH Maksum, karena di kalangan para kiai ada semacam tradisi saling menitipkan pendidikan putranya kepada kiai lain. Dalam hal ini, KH Maksum menitipkan putranya yang bernama Ali kepada KH Dimyati di pesantren Tremas, sementara KH Dimyati sendiri menitipkan putranya yang bernama Gus Hamid Dimyati dan Habib Dimyati, kepada KH Maksum di pesantren Al-Hidayah Lasem.
Ali Maksum, yang dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren lebih dikenal dengan panggilan Wak Ali ini,[2] nampak paling menonjol diantara para santri yang lain dan sudah menampakkan bakat-bakat keulamaannya. Hal ini bukan disebabkan oleh kebesaran nama ayahnya, akan tetapi disebabkan oleh kejeniusan otaknya, ketekunan belajarnya, kedalaman ilmunya, keluasan wawasannya, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, kreatif, inovatif, kekuatan pribadinya, jiwa kepemimpinannya, dan hal-hal lainnya.
Menurut saksi mata, sebagaimana yang dituturkan oleh KH Habib Dimyati, bahwa Wak Ali setiap harinya tidak lepas dari kitab-kitab besar. Semangat belajarnya hebat melampaui usianya yang sangat muda dan melintasi batas-batas yang ditetapkan pesantren. Wak Ali sering tidak tidur sampai larut malam, sehingga tidak aneh jika kamarnya terlihat tidak rapi, karena di sana-sini banyak kitab-kitabnya berserakan dalam keadaan terbuka. Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmisi, yang tinggal sekamar banyak berguru kepada Wak Ali dalam hal membaca kitab kuning. Maklum, meskipun lama bermukim di Makkah, Gus Muhammad lebih mengkhususkan diri pada ulumul Qur’an. Yang dipelajari Wak Ali bukan hanya terbatas pada kitab-kitab mu’tabarah karya ulama’ salaf sebagaimana yang diajarkan oleh kiainya, akan tetapi juga mempelajari kitab-kitab tulisan ulama’ pembaharu seperti kitab Tafsir Al-Manar tulisan Rasyid Ridha murid Muhamad Abduh, kitab Tafsir Al-Maraghi, kitab Fatawa tulisan Ibnu Taimiyah, kitab-kitab tulisan Ibnul Qayyim dan kitab-kitab baru lainnya. Padahal kitab-kitab tersebut menjadi larangan para kiai di beberapa pesantren tradisional untuk dibaca dan dipelajari para santrinya. KItab-kitab para pembaharu tersebut diperoleh Wak Ali dari kiriman kawan-kawannya di Tanah Haram, santri ayahnya dan keluarga Tremas yang pulang dari pergi haji. KH Dimyati selaku pengasuh pesantren sebenarnya mengetahui hal itu, apalagi Wak Ali tinggal didalam komplek nDalem, akan tetapi beliau sengaja mendiamkannya, karena Wak Ali dipadang memiliki dasar-dasar tradisi pesantren yang kuat. Bahkan memperluas wawasan dengan kitab-kitab tersebut bagi Wak Ali sangat diper-lukan sebagai muqabalah (perbandingan). Barangkali karena latar belakang referensinya yang luas inilah yang menjadikan Wak Ali sebagai seorang ulama’ yang berwawasan luas, dalam, dan berpandangan lebih moderat bila dibanding dengan para kiai alumni pesantren lainnya.
Wak Ali sangat gemar mempelajari Ilmu tafsir Al-Qur’an, yang nantinya mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama’ ahli tafsir yang terkemula di Indonesia. Demikian pula dalam ilmu bahasa arab, Wak Ali sangat menguasai kitab-kitab nahwu tingkat tinggi seperti kitab Dahlan, Asymuni, Alfiyah Ibnu Malik dan syawahid-nya, sehingga di kemudian hari mengantarkannya menjadi seorang pakar ahli bahasa Arab yang terkenal. Julukan “Munjid berjalan”[3] untuk KH. Ali Maksum menunjukkan penguasaannya di bidang bahasa Arab beserta cabang-cabangnya. Atas kegemaran, ketekunan dan keahlian inilah yang mengantarkan KH Ali Maksum berhasil menciptakan metode baru dalam pembelajaran ilmu shorof yang dinilai cukup praktis dan efektif, yang kemudian diberi judul “Ash-Sharful Wadhih”. Metode ini berbeda dengan metode shorof yang sudah mapan saat itu, misalnya metode tashrif susunan Kiyai Muhammad Ma’shum bin Ali dari Jombang dalam bukunya yang berjudul “Al-Amtsilah at-Tashrifiyah”.
Kegemaran lain Wak Ali di bidang keilmuan adalah menghafal dan mempelajari secara intens syiir-syiir dan butir-butir kalam hikmah yang sangat berguna kelak ketika menjadi seorang ulama’ besar, dimana setiap ada kesempatan dalam berpidato, berceramah, mengajar, memberikan pembinaan dan lain-lain, sering keluar dari mulutnya untaian kalam hikmah dan syiir-syiir tersebut.
Wak Ali Maksum yang sejak muda tidak gemar tirakat, puasa ngrowot dan perilaku nyeleneh lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian santri di pesantren-pesantren salafiyah pada umumnya ini juga memiliki kegemaran musik. Beliau suka memukul-mukul daun pintu atau apa saja yang ditemui dengan ujung jarinya untuk mengiringi alunan nyanyian, dan bahkan menyukai lagu-lagu berbahasa inggris yang diiringi musik jazz. Kegemaran ini masih terbawa ketika sudah menjadi seorang kiyai yang mengasuh pesantren Krapyak, dimana lagu-lagu jazz tersebut sering diputar dan didengarkan didalam kamar pribadinya sambil beliau dipijiti para santri, bahkan terkadang suaranya sampai keluar melalui mic speaker sehingga para santri ikut menikmati lagu-lagu tersebut. Dalam bidang olahraga, Wak Ali sama sekali tidak memiliki kegemaran, kecuali gemar membersihkan lingkungan pondok dari daun-daun kering, mengambili kertas-kertas bekas dan sampah kering lainnya. Berbeda dengan Gus Hamid[4] dari Pasuruan yang gemar main sepakbola.
Mengingat kejeniusannya, ketekunan belajarnya, kedalaman dan keluasan ilmunya, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, dan bakat keulamaannya, Wak Ali dipercaya oleh KH Dimyati untuk mengajar para santri dalam usia yang sangat muda. Dalam menjalankan tugas mengajar, Wak Ali sangat menguasai materi kitab yang dibebankan kepadanya, tegas, disiplin dan simpatik. Oleh karenanya, beliau memperoleh kedudukan yang terhormat di kalangan keluarga pesantren dan santri.
Dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren, Wak Ali adalah “simbol keteladanan”. Beliau bersama-sama dengan Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat Dimyati dan Gus Muhammad bin Syaikh Mahfuzh at-Tirmasi sangat populer dengan sebutan “Empat Serangkai”, karena dari merekalah muncul ide-ide segar untuk memajukan dan mengembangkan pesantren Tremas. Diantaranya adalah ide dari Wak Ali tentang perlunya menerapkan sistem madrasi dalam sistem pendidikan pesantren Tremas, dengan tenaga pengajar dari dalam pesantren sendiri. Semula ide ini ditolak oleh KH Dimyati, karena trauma dengan pendirian madrasah kontroversial oleh Sayyid Hasan Ba’bud. Setelah konsep dari ide tersebut dipandangnya jelas dan mendukung kemajuan pesantren, maka KH Dimyati mengijinkan berdirinya madrasah tersebut, dengan Wak Ali Maksum sebagai direkturnya. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Wak Ali, yang ketika itu baru berusia 19 tahun, untuk melakukan pembaharuan di bidang metode pengajaran dan kurikulumnya, diantaranya dengan cara memasukkan kitab-kitab baru karya ulama modern kedalam kurikulumnya, seperti kitab Qiroatur Rosyidah, an-Nahwul Wadhih dan lain-lain. Setelah Wak Ali Maksum pulang “boyongan” ke Lasem, kepemimpinan madrasah diserahkan kepada Gus Hamid Dimyati sebagai direktur dan A. Mukti Ali sebagai wakilnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali berkomentar, bahwa Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya meng-gunakan sistem pesantren ke sistem madrasi. [5]
3. Berguru ke Tanah Haram Makkah.
Sepulangnya ke Lasem pada tahun 1935, KH Ali Maksum membantu ayahnya mengajar di pesantren Al-Hidayah, terutama dalam disiplin ilmu bahasa arab dan Tafsir Al-Qur’an yang menjadi kegemaran dan spesialisasinya selama belajar di pesantren Tremas. Selain mengajar, KH Ali Maksum juga membenahi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Semangat pembaharuan mulai beliau tiupkan, dan ternyata mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena pembaharuan yang diterapkannya sama sekali tidak mengancam keberadaan pesantren berikut segala pranatanya, melainkan justru menguatkan-nya. Pembaharuan yang beliau lakukan tetap berpedoman pada prinsip: Al-Muhafazhatu ‘alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, yaitu mempertahankan tradisi lama yang masih baik (layak) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Pada tahun 1938, KH Ali Maksum menikahi Rr. Hasyimah putri KHM Munawwir. Beberapa hari setelah pernikahannya, seseorang bernama H. Junaid dari Kauman Yogyakarta melalui KH Maksum menawarkan tiket gratis kepada KH Ali Maksum untuk beribadah haji. Sebulan kemudian, KH Ali Maksum bertolak menuju Makkah lewat pelabuhan Semarang, dan kesempatan tawaran beribadah ini sekaligus digunakan untuk thalabul ilmi, mengaji kepada beberapa ulama’ besar di Makkah, diantaranya berguru kepada Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki (ayah Sayyid DR. Muhammad Alwi Abbas Al-Maliki) untuk mengaji kitab Al-Luma’ dan lain-lain, juga berguru kepada Syaikh Umar Hamdan untuk mengaji kitab Shahih Bukhari dan kitab hadis lainnya, serta memperluas wawasan dengan mengkaji kitab-kitab kaum modernis seperti karya Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridha, Jalaluddin Al-Afghani, dan lain-lain.
Selama dua tahun tinggal di Makkah, berarti dua kali pula Ali Maksum menunaikan ibadah Haji. Selama itu pula, Ali Maksum berhubungan dengan para masyayikh, sesama para pelajar dan jamaah haji Indonesia. Kepada jamaah haji yang dikenalnya, ia menitipkan kitab-kitabnya untuk dibawa ke Lasem, terutama kitab-kitab baru tulisan para ulama’ pembaharu, disamping kitab-kitab yang ia tumpuk untuk dibawa sendiri pada tahun 1940.[6]
4. Menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak YogyakartaSepeninggal K.H.M. Munawwir, sesuai dengan wasiat dan kesepakatan kekuarga, kepemimpinan pesantren kemudian diambil alih oleh kakak beradik, K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir. K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan sarana prasarana pesantren dan hubungan dengan luar pesantren, dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan pengajaran Al-Qur’an. Namun satu persatu santri pulang meninggalkan pesantren, dan belum genap 100 hari wafatnya, jumlah santri tinggal puluhan orang. Bersamaan dengan itu, masuknya penjajah Jepang ke Indonesia semakin memperparah kondisi pesantren, sehingga santri tinggal beberapa orang, padahal jumlah santri saat wafatnya K.H.M. Munawwir mencapai 200-an lebih. Walaupun demikian, aktifitas kepesantrenan (pengajian Al-Qur’an) tetap berjalan seperti masa-masa sebelumnya dengan jumlah santri apa adanya.
Dari fenomena ini sementara dapat disimpulkan bahwa kewibawaan dan kekharismaan K.H.M. Munawwir merupakan faktor penyebab kebesaran pesantren, dan hal ini ternyata tidak mampu diatasi oleh penggantinya selaku turunan langsung yang secara tradisional mewarisi kepemimpinan dan kharisma dari ayahnya. Kondisi ini membuat keluarga besar K.H.M. Munawwir merasa resah dan khawatir terhadap kelestarian pesantren ke depan. Maka pada tahun 1943, musyawarah keluarga Bani Munawwir memutus-kan untuk mengirim delegasi menemui Kiai Ali (menantu K.H.M. Munawwir), yang saat itu telah berhasil membenahi sistem pendidikan pesantren ayahnya di Lasem dan mampu mendongkrak jumlah santri, agar bersedia diajak ”hijrah” ke Krapyak untuk mengatasi krisis tersebut. Namun ajakan ini ditolak tegas oleh Kiai Ali Maksum. Beberapa bulan kemudian, datang lagi utusan ke Lasem. Kali ini yang datang adalah Nyai Sukis sendiri (isteri K.H.M. Munawwir, ibu mertua Kiai Ali) dengan didampingi K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir, yang mengharap dengan sangat agar Kiai Ali bersedia diboyong ke Krapyak. Akhirnya kekerasan hati Kiai Ali luluh dan menerima ajakan itu. Sejak kepindahan Kiai Ali ke Krapyak ini (1943), pesantren Al-Munawwir di bawah kepemimpinan ”tiga serangkai” dengan pembagian tugas sebagai berikut :
1). K.H.R. Abdullah Affandi (putra, wafat 1968), dengan tugas sebagai pimpinan umum, menangani urusan sarana-prasarana dan hubungan dengan dunia luar pesantren
2). K.H.R. Abdul Qadir (putra, wafat 1961)), dengan tugas sebagai pengasuh Tahfizh Al-Qur’an dan urusan intern pesantren
3). K.H. Ali Maksum (menantu), sebagai penanggung jawab urusan pengajaran kitab-kitab kuning dan pembenahan sistem pendidikannya.
Dari ketiga pemimpin tersebut, Kiai Ali merupakan orang yang memiliki kelebihan. Disamping keahlian, kedalaman dan keluasan wawasan di bidang keilmuan, juga dipandang lebih mumpuni, lebih dewasa, lebih berpengalaman dan lebih siap memimpin pesantren. Dengan bermodalkan pengalaman dan potensi yang dimiliki selama menjadi santri di pesantren Tremas dan membenahi pesantren ayahnya di Lasem, serta tugas berat ”amanah” yang dibebankan kepadanya tersebut, Kiai Ali mulai mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk mencari titik-titik lemah yang menjadi sumber kemunduran beserta jalan keluarnya, kemudian menetapkan beberapa langkah strategis, diantaranya: 1) perlunya kaderisasi ulama / tenaga pengajar inti dari dalam pesantren, dan 2) perlunya pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum pesantren.
Selama dua tahun pertama (antara tahun 1943 – 1944), aktifitas secara intensif difokuskan pada usaha kaderisasi ulama, tenaga pengajar dan pengelola dari lingkungan keluarga pesantren, dengan melibatkan seluruh putra dan menantu K.H.M. Munawwir, serta tetangga. Sedangkan aktifitas kepesantrenan (pengajaran Al-Qur’an) dan penerimaan santri dari luar untuk sementara dibekukan. Peserta yang mengikuti pengkaderan terdiri dari : KHR Abdul Qodir Munawwir (pengasuh), KH Zaini Munawwir, KH Zainal Abidin Munawwir, KH Ahmad Munawwir, KH Dalhar Munawwir, KH A. Warson Munawwir, KH Nawawi Abdul Aziz (menantu), KH Mufid Mas’ud (menantu), KH Habib Dimyati (Tremas), H. Wardan Junaid (Kauman Yogyakarta), Abdul Hamid (tetangga, Krapyak), dan KH. Zuhdi Dahlan (tetangga, Jogokaryan). Murid-murid pertama ini tidak mengecewakan dan tidak satupun diantara mereka yang “melorot” (kendur) semangatnya, padahal mereka harus mengikuti pengajian berbagai macam kitab kuning dengan sistem halaqah/weton dan sorogan, sejak sehabis sholat subuh sampai pukul 21.00 secara nonstop, kecuali sekedar waktu untuk shalat dan makan, dan disiplin yang diterapkan betul-betul sangat ketat, terutama yang diterapkan kepada peserta ahlul bait (keluarga pesantren).[7]
Hasilnya, seluruh peserta kaderisasi memiliki kesiapan dalam segala hal untuk bersama-sama mengelola, memajukan dan mengembangkan pesantren. Mereka menjalankan tugas, wewenang, dan aktifitas sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Maka dalam jangka waktu yang relatif singkat, pesantren Al-Munawwir selama dalam kepengasuhan Kiai Ali mengalami perkembangan pesat setahap demi setahap. Hal ini ditandai dengan :
a) Berkembangnya sistem pendidikan yang tidak lagi dipusatkan pada pengajaran Al-Qur’an, akan tetapi juga pada kajian kitab kuning, yang keduanya dapat berjalan secara seimbang, sehingga menjadi aktifitas utama sekaligus menjadi ciri khas pesantren.
b) Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal/klasikal dalam bentuk madrasah, meliputi : 1). Madrasah Ibtidaiyah putra 4 tahun (1946); 2) Madrasah Tsanawiyah Putra 3 tahun (1947) dan SMP Eksakta Alam (1951-1954); 3) Madrasah Banat (1951); 4) M. Aliyah Salafiyah putra 3 tahun (1955); 5) Madrasatul Huffazh (1955); 6) TK (1957); 7) Madrasah Diniyah (1960); 7) Tsanawiyah 6 tahun (1962-1986); 6) MTs dan Aliyah 3 tahun (1987);
c) semakin bervariasi (santri takhassus, santri kalong, sekolah didalam dan diluar pesantren) dan meningkatnya jumlah santri yang tertarik belajar di pesantren Krapyak;
d) semakin terkenalnya nama pesantren di tingkat Nasional dan dunia internasional, terutama di negara-negara Timur Tengah,[8] apalagi semenjak Kiai Ali menjadi Rois ’Am (1981-1984) dan menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-28 (1989), kepopuleran dan peran pesantren Al-Munawwir diperhitungkan oleh berbagai pihak.
Disebabkan oleh perannya yang begitu besar sebagai motivator, dinamisator, katalisator, inspirator (penggagas) kaderisasi ulama dalam kepemimpinan pesantren, dan sebagai power bagi komunitas yang dipimpinnya, serta sebagai sumber pengetahuan, maka dari sudut ini, Kiai Ali dapat dipandang sebagai sesepuh Krapyak, sekaligus sebagai pembangun pesantren yang sebelumnya telah dirintis dan didirikan oleh K.H.M. Munawwir.
5. Pengabdiannya di Jam’iyyah NU
Di sela-sela kesibukannya sebagai pengajar dan pengasuh pesantren Al-Munawwir Krapyak, Kiai Ali sejak masa-masa awal sudah simpatik terhadap jam’iyyah NU. Terutama sekitar tahun 1950-an ketika suhu politik memanas akibat semakin nyaringnya suara kaum nahdhiyyin untuk keluar dari Masyumi, dan terealisir ketika Muktamar di Palembang tahun 1952 yang memu-tuskan NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai “NU” sendiri. Untuk menghadapi Pemilu pertama tahun 1955, Kiai Ali mulai aktif berkampanye untuk partai NU dengan cara tidak langsung turun ke lapangan sebagai jurkam, melainkan lewat pendidikan kader kepada para santri Krapyak dan melalui pembicaraan non formal dengan para tamu yang sowan ke rumahnya. Hasilnya, Partai NU memperoleh suara terbanyak rangking ketiga setelah PNI dan PKI. Dari Pemilu tersebut, Kiai Ali akhirnya terpilih menjadi anggota konstituante yang mewakili NU Yogyakarta.
Pada tahun 1960-an, tatkala PKI tengah gencar memusuhi kaum muslimin dan mengancam para kiai, Kiai Ali justru diminta menjadi Rois Syuriyah PWNU propinsi D.I.Yogyakarta secara terus menerus sampai beliau dikukuhkan sebagai Rois ‘Am PBNU menggantikan posisi KH Bisri Syansuri yang wafat, melalui Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Sleman Yogyakarta, 30 Agustus – 2 September 1981.
Kiai Ali sebenarnya kurang tertarik dengan dunia politik praktis dan menolak keras ketika dicalonkan sebagai Rois ‘Am. Berulang kali Kiyai Ali mengatakan, “Demi Allah, jangan dipilih”, mengingat dorongan yang sangat kuat dari banyak kiyai, terutama pendapat KH Ahmad Shiddiq di forum Munas: “Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cocok untuk menjadi Rois Am daripada KH Ali Maksum”, dan ternyata kemudian disetujui oleh farum Munas secara aklamasi, maka dengan rasa berat Kiai Ali mau menerimanya dengan syarat hanya satu kali periode kepengurusan sampai diadakannya Muktamar ke-27 tahun 1984. Sambil menangis, dan juga diikuti tangisan haru para kiai, Kiai Ali memberikan kata sambutan dengan bahasa arab yang fasih, yang intinya menyatakan bahwa beliau bukanlah orang yang terbaik, bila selama memimpin terlihat bengkok agar diluruskan bahkan beliau siap dicampakkan atau dipecat.[9]
Kiai Ali oleh banyak kalangan disebut sebagai “penyelamat NU”, karena : 1) ketika muncul krisis kepemimpinan di NU dan kesulitan memilih orang yang tepat untuk jabatan Rois ‘Am pengganti KH Bisri Syansuri yang wafat, Kiai Ali bersedia dipilih sebagai Rois ‘Am pada 1981 melalui Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Yogyakarta, walaupun dengan sangat berat; 2) ketika NU dilanda kemelut tahun 1983 dengan pengunduran diri DR Idham Kholid sebagai Ketua Umum PBNU (yang belakangan lalu dicabutnya kembali), akibat perseteruan antara kubu politik (kelompok “Cipete”, pimpinan DR Idham Kholid) dengan kubu ulama/non politik (kelompok “Situbondo”, pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin), Kiai Ali tampil merangkap jabatan sebagai Rois ‘Am sekaligus Ketua Umum PBNU untuk membenahi persiapan Muktamar Situbondo 1984, yang menghasilkan keputusan strategis dan monumental, yaitu mengembalikan NU ke khittah 1926; 3) Ketika ada gejolak sebagian aktivis yang ingin, menggoyang Khittah NU 1926 dan membelokkan NU ke partai politik, serta usaha mendongkel Gus Dur dari posisi Ketua Umum PBNU di Munas Alim Ulama NU di Cilacap akhir 1987, maka dengan kewibawaan dan kekarismatikannya Kiai Ali mampu menjadi penjaga gawang-nya sehingga dapat meredam gejolak tersebut. Atas perannya ini Kia Ali secara berkelakar berkomentar: “Wah, saya ini anggota Mustasyar bagian meden-medeni (menakut-nakuti).”
Diantara jasa dan hasil capaian Kiai Ali selama memimpin NU adalah : 1) mampu mengerem usaha menjerumuskan NU ke politik praktis yang lebih dalam; 2) lahirnya keputusan NU kembali ke Khittah 1926; 3) menjaga jarak yang sama antara NU dengan partai-partai politik; 4) mengangkat wibawa ulama/syuriyah; 5) mulai terjadinya regenerasi dalam NU dengan mendorong dan memasukkan generasi muda NU kedalam struktur kepengurusan;[10] 6) hilangnya perpecahan di tubuh NU, tidak ada lagi kubu Cipete dan Situbondo, yang ada adalah kubu NU; 7) membuatkan bekal bagi pengurus dan warga NU dalam meraih sukses organisasi.[11]
Setelah Muktamar ke-27 di Situbondo, Kiyai Ali ditempatkan sebagai salah satu anggota Mustasyar PBNU bersama-sama dengan KHR As’ad Syamsul Arifin, KH DR. Idham Cholid, KH Mahrus Ali, dll.
6. Sifat Kepribadian KH Ali Maksum
Banyak sifat-sifat kepribadian Kiai Ali yang dapat dijadikan sebagai suri teladan terutama bagi para santri, dan sekaligus mempengaruhi tipologi kepemimpinannya di PP Al-Munawwir, diantaranya adalah istiqomah mengajarkan kitab kuning. Sekalipun kesibukan beliau bertumpuk-tumpuk, seperti sebagai seorang muballigh, dosen di IAIN dan pengurus NU (Rois ‘Am) yang sering keluar kota, beliau jarang sekali meninggalkan pengajian dan sorogan yang menjadi rutinitasnya sehari-hari, kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak, terutama di akhir hayatnya yang sering sakit-sakitan.
Kiai Ali berpola hidup sederhana, zuhud, tidak terkesan hidup mewah, dan tampil apa adanya. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi pakaiannya, tempat tinggal, kendaraan dan makanannya yang sangat sederhana, tidak terkesan mewah, bahkan bisa dikatakan tidak layak untuk ukuran dan statusnya sebagai seorang Kiai besar. Keseriusan usahanya dalam pengembangan pesantren seperti pembiayaan pembelian tanah untuk perluasan lokasi pesantren, pengadaan bangunan, fasilitas pesantren dan kegiatan-kegiatan keagamaan (konsumsi majlis taklim, dll), baik dengan dana pribadi maupun dana sumbangan dari berbagai pihak, semua itu menunjukkan sikap kezuhudannya. Bahkan, jauh sebelum wafatnya Kiai Ali sudah mempersiapkan untuk membagi-bagikan seluruh harta kekayaannya tanpa diketahui oleh siapapun dengan cara membuat catatan beberapa lembar kertas yang kemudian disimpan di lemari diantara tumpukan pakaiannya. Isinya : 1) jumlah total berbagai jenis harta benda yang dimiliki (tanah, rumah, pakaian, kendaraan, uang, dll) beserta tempat penyimpanannya, 2/3 harta benda tak bergerak dihibahkan untuk pesantren dan sisanya dihibahkan untuk anak-anaknya; 2) daftar nama orang satu persatu dari kalangan masyarakat tetangga pesantren, para sahabat dan kenalan, sanak kerabat dan putra-putrinya, lengkap dengan angka nominal dan jenis harta yang akan diterimanya, sehingga pada saat wafat, beliau sedikit pun tidak meninggalkan harta warisan. Sungguh, tindakannya ini sesuai sekali dengan isi kandungan syi’iran sholawatan berbahasa Jawa yang beliau gubah dan sering beliau lantunkan di tengah atau akhir memberikan ceramah pengajian, antara sebagai berikut :
Kulo sowan nang Pangeran // Kulo miji tanpo rencang // Tanpo sanak tanpo kadang // Bondho kulo ketilaran //.
Yen manungso sampun pejah // Uwal saking griyo sawah // Najan nangis anak simah // Nanging kempal boten betah //.
Senajan berbondho-bondho // Morine mung sarung ombo // Anak bojo moro tuwo // Yen wis nguruk banjur lungo //.
Yen urip tan kebeneran // Bondho kang sa’ pirang-pirang // Ditinggal dienggo rebutan // Anak podho keleleran //.
Yen sowan kang Moho Agung // Ojo susah ojo bingung // Janji ridhone Pangeran // Udinen nganggo amalan.[12]
Pembawaan Kiai Ali yang tenang, santun dan mengesankan, wataknya yang arif dan bijaksana, serta sifatnya yang lemah lembut, grapyak (mudah menyapa, mudah bergaul) dengan siapa saja yang ditemui, tutur katanya yang manis, serta raut wajahnya yang selalu ceria dan semringah dengan hiasan senyuman yang khas, menyebabkan beliau disukai oleh siapa saja. Demikian pula sikap beliau yang tawadhu’, tidak suka dihormati secara berlebihan apalagi dikultuskan,[13] suka memaafkan kesalahan orang,[14], serta jauh dari sifat pendendam dan dengki, menyebabkan beliau selalu dihormati dan disegani.
Pergaulan KH Ali dengan Para Santri. Kiai Ali sangat dekat hubungannya dengan para santri, dan begitu pula sebaliknya. Kiai Ali hampir hapal semua nama santri, tempat tinggalnya di lokasi pesantren, nama orang tuanya dan asal usul daerahnya. Di hadapan para santri, Kiai Ali bukanlah sosok yang menakutkan. Pada umumnya, para santri merasa takut dan lari atau bersembunyi ketika bertemu dengan kiai, akan tetapi tidak demikian terhadap Kiai Ali. Hubungan Kiai Ali dengan santri seperti layaknya hubungan bapak dengan anak. Kedekatan hubungan ini ditunjukkan oleh kesukaannya bercanda dan bergurau dengan para santrinya, baik secara individu maupun secara jamaah di pengajian. Kalaupun ada santri yang lari atau takut ketika berhadapan Kiai Ali, mereka justru akan dipanggil, baik secara langsung maupun lewat microphone untuk sekedar diajak ngobrol sambil mendengar-kan lagu-lagu kesayangannya atau menonton TV,[15] diajak jalan-jalan keliling pondok sambil mengambili sampah-sampah kering (kertas, plastik dan dedaunan), disuruh memijatnya, disuruh menyapu atau membersihkan kamar pribadinya atau halaman rumahnya, dan lain-lain, sehingga mereka tidak lagi merasa takut dan terasa begitu dekat dengan Kiai Ali.
Kiai Ali sangat rajin mendatangi kamar-kamar santri dan membangunkan mereka untuk diajak shalat subuh berjamaah. Terhadap santri yang dipandang malas dan bandel berjamaah tarawih setiap datangnya bulan Ramadhan, Kiai Ali mengadakan “Tarawih Panggilan” di kediamannya dan diimami sendiri. Ini bukan berarti memberi kesempatan atau peluang untuk bandel, akan tetapi mendidik mereka bahwa dengan sering dipanggilnya mereka, maka lama kelamaan mereka akan sadar dan malu dengan sendirinya.
Demikian pula kedekatan Kiai Ali terhadap para alumninya, yang ditunjukkan oleh seringnya beliau menitipkan salam kepada alumni lewat para tamu, wali santri, atau santri yang kebetulan kenal dan dekat tempat tinggalnya dengan alumni tersebut. Bahkan Kiai Ali sering mampir ke rumah alumni di tengah perjalanannya ke luar kota.[16] Terutama setiap ada event Haul KH Munawwir, para alumni selalu dikirimi undangan untuk meng-hadiri Haul tersebut. Dari sini dapat dikatakan bahwa kedekatan hubungan santri dengan Kiai tetap berlanjut sampai menjadi alumni.
Dalam soal ketaatan “mutlak” santri kepada kiyai hingga sampai pada tingkat pengkultusan, adalah tidak sejalan dengan pandangan kiai Ali. Ketaatan murid terhadap guru sebatas pada hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at dan dilakukan secara wajar.[17]
Kiai Ali sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan pondok. Beliau sering berjalan-jalan sambil mengelilingi pondok. Begitu melihat lingkungan yang kotor dengan berbagai jenis sampah, langsung saja memanggil santri yang ada di situ, terutama para santri yang tidak ikut sorogan untuk diperintah mengambili sampah-sampah tersebut dengan tangannya, karena beliau memang sangat “titen” (ingat, dan teliti) pada santri yang ikut dan yang tidak ikut sorogan. Bahkan terkadang beliau sendiri yang mengambilinya. Selain itu, beliau juga sangat peduli dengan kondisi suatu bangunan yang rusak, kumuh, atau yang tidak layak huni, langsung saja beliau mengerahkan, memimpin dan mengawasi para santri untuk kerja bakti.[18]
Ulama Intelek dan Tokoh Modernis NU. Nama KH Ali Maksum di kalangan masyarakat tidak asing lagi, karena perannya yang begitu besar di berbagai sektor, sebagai pengasuh pesantren, sebagai ulama intelek, sebagai ilmuwan, sebagai tokoh organisasi Islam, modernis NU, dan sebagai pemimpin lainnya.
Kiai Ali merupakan tipe seorang Kiai yang memiliki semangat autodidak yang tinggi. Bagi Kiai Ali, pameo “Belajar sendiri tanpa guru (misalnya mengkaji sendiri kitab yang belum pernah dingaji-kan), maka gurunya adalah syetan” dipandangnya salah kaprah dan tidak berlaku lagi. Pameo itu sebenarnya hanya berlaku khusus pada murid thariqat yang sangat membutuhkan bimbingan spiritual seorang mursyid dalam mendalami ilmu-ilmu haqiqat. Sebab, jika ilmu hakekat didalami sendiri tanpa bimbingan guru terkadang justru dapat menyesatkannya. Berbeda kondisinya dengan para santri yang mendalami ilmu-ilmu syari’at, bahwa kitab-kitab yang dikaji tersebut justru dipandang sebagai guru yang terbaik. tidak pernah berbohong, paling sabar dan tidak pernah marah. Artinya, kitab-kitab tersebut berbicara dengan bahasa tulis apa adanya, terbuka untuk dikoreksi dan dikritik. Berbeda dengan guru manusia yang suka menutupi kekurangannya dan menonjolkan kelebihannya.[19] Pandangan inilah yang melandasi Kiai Ali memiliki semangat otodidak tinggi, berwawasan luas dan dalam, serta berpandangan moderat. Bahkan pandangannya ini sering kali dilontarkan kepada para santri di tengah memberikan pengajian, sehingga mampu mendorong para santri untuk memiliki semangat otodidak yang tinggi seperti yang dimiliki oleh Kiai Ali.
Kiai-Kiai yang seangkatan dengan beliau atau yang lebih sepuh lagi, dan juga kalangan intelektual muda mengakui keluasan ilmunya. Beliau adalah ulama ahli tafsir, hadis, fiqih, bahasa Arab beserta ilmu alatnya, dan berbagai disiplin ilmu lainnya, serta menguasai berbagai macam kitab, baik yang menjadi rujukan ulama tradisional maupun ulama modernis. Bahkan penguasaannya terhadap kitab-kitab rujukan ulama modernis tersebut (seperti karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Sayyid Quthub, Hassan Al-Bana, Muhammad Abduh dan lain-lain) justru melebihi dari para ulama kelompok modernis itu sendiri[20]. Julukan “Munjid Berjalan” oleh masyarakat untuk Kiai Ali Maksum menujukkan keluasan bidang keilmuan yang dikuasainya.
Di kalangan inetelektual muslim dan dunia kampus, Kiai Ali adalah seorang dosen dan guru besar ilmu tafsir di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang benar-benar ahli di bidangnya dan berpandangan luas. Karena keahliannya itu pada tahun 1962, Kiai Ali bersama-sama dengan Prof. KH Anwar Musyaddad, Prof. DR. Muhtar Yahya, Prof. Hasbi Assiddiqi dan lain-lain ditunjuk oleh Menteri Agama RI sebagai anggota tim Lembaga Penyelenggara Penterjemahan Kitab Suci Al-Qur’an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Sunaryo, SH (Rektor IAIN Sunan Kalijaga ketika itu).
Meskipun dekat dengan kalangan akademisi dan intelektual, KH Ali tetap istiqomah mengajarkan kitab kuning kepada para santri Krapyak, dan hampir tidak ada waktu jeda untuk memberikan pengajian umum/ceramah agama kepada masyarakat, baik di pedesaan, didalam kota maupun luar kota Yogyakarta.[21]
Kiai Ali dikenal luas sebagai tokoh modernis NU, yang menjadi motor penggerak terjadinya perubahan dan pembaharuan di tubuh NU melalui sepak terjang generasi muda NU pasca Muktamar Situbondo. Kiai Ali memandang perlu agar kaum muda terutama yang memiliki pemikiran progresif dan semangat pembaharuan diberi kesempatan untuk memimpin NU ke depan. Menurut Martin van Bruinessen, sebagaimana yang dikutip oleh Zainal Arifin Thoha dalam bukunya Runtuhnya Singgasana Kiai, bahwa salah satu alasan yang mendorong Kiai Ali menerima jabatan Rois ‘Am sesungguhnya juga didorong oleh rasa ingin melindungi (gagasan-gagasan) angkatan muda NU, seperti KH Ahmad Shiddiq, KH Sahal Mahfudz, KH Abdurrahman Wachid, KH Musthofa Bisri, DR. Fahmi Saifuddin, dr. Muhammad Tohir, KH Muchid Muzadi, M. Zamroni, Mahbub Djunaidi, Masdar Farid Mas’udi dan lainnya yang kelak dikenal sebagai para penggagas Khittah. Pembelaan terhadap gagasan-gagasan progressif angkatan muda NU tidak hanya sampai di forum Muktamar ke-27 Situbondo yang mengantarkan KH Ahmad Shiddiq dan KH Abdurrahman Wachid sebagai Rois ‘Am dan Ketua Umum PBNU, juga pada Muktamar ke-28 Krapyak Yogyakarta (1989) yang juga mengantarkan keduanya untuk dikokohkan kembali sebagai Rois ‘Am dan Ketua Umum PBNU.[22]
Sejak tahun 1943 Kiai Ali pindah ke Krapyak. Yang pertama kali dirasakan Kiai Ali pada awal kepindahannya ini adalah kuatnya getaran gerakan Muhammadiyah, maklum kota Yogyakarta adalah kota kelahirannya. Kiai Ali yang dikalangan para kiai NU dikenal sebagai salah satu tokoh reformis atau modernis NU ini tidak menunjukkan sikap yang konfrontatif, akan tetapi dengan sikap penuh toleransi, kemudian gerak langkah Muhammadiyah tersebut terus diikuti perkembangannya dengan seksama. Hal ini yang mempengaruhi kebijakannya dalam memimpin pesantren Al-Munawwir, yaitu dengan membuat seimbang antara pengajian Al-Qur’an dan pengajian kitab-kitab kuning agar santri mengetahui ajaran-ajaran Islam ‘ala Ahlussunnah wal Jamaah beserta dalil-dalinya secara proporsional untuk dijadikan sebagai benteng dari pengaruh faham wahhabi yang disuarakan oleh gerakan Muhammadiyah tersebut.
Persinggungannya dengan kaum modernis nampak terlihat antara lain dari cara Kiai Ali mengupas berbagai masalah keagamaan dalam setiap pengajiannya, yang sering diperbandingkan dengan pandangan ulama pembaharu. Jiwa pembaharuan, keluasan ilmunya dan pandangannya yang moderat tidak lepas dari pengalaman masa lalunya di pesantren Tremas yang sangat gemar mengkaji berbagai jenis kitab karangan para ulama salaf dan ulama’ pembaharu,[23] ide-idenya yang segar demi kemajuan pesantren mampu mendorong terjadinya pembaharuan sistem pendidikan di Tremas. Tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali mengatakan, bahwa Kiai Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya menggunakan sistem pesantren ke sistem madrasi.[24]
Bahkan dalam banyak hal pandangan Kiai Ali sejalan dengan pandangan kaum pembaharu, diantaranya seperti masalah mencari ilmu yang harus diperoleh melalui belajar (Innamal ‘ilmu bit-ta’allum) dan didukung dengan makanan yang bergizi untuk meningkatkan kecerdasan, bukan dengan mengandalkan semangat pencarian melalui laku spiritual (laduni), wirid, perilaku ngrowot dan lelakon nyeleneh lainnya. Oleh karena itu Kiai Ali hampir tidak pernah mengajak santrinya hidup prihatin atau tirakat dengan menjauhi makanan tidak bergizi, selain ibadah puasa sunnah yang disyari’atkan.
Latar belakang kehidupan keilmuan Kiai Ali yang dinamis, berwawasan yang sangat luas, dalam dan moderat, dengan dukungan referensi yang multidisipliner, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi tersebut, sedikit banyak tentu mempengaruhi pendidikan dan pengajaran yang diberikannya kepada para santri. Tidak mengherankan jika para alumni yang pernah mendapatkan didikan dari Kiai Ali tidak sedikit yang menjadi tokoh masyarakat, intelektual, dan kiai-kiai pengasuh atau pendiri pesantren yang berwawasan luas, mendalam dan moderat disebabkan referensinya yang sangat luas, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi.[25]
6. Wafatnya KH Ali Maksum
Ketika dilangsungkan Muktamar NU ke-28 di pesantren Al-Munawwir Krapyak, sebenarnya beliau sudah sakit sejak beberapa saat sebelumnya. Meskipun demikian, sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab atas sukses dan tidaknya Muktamar, beliau masih sempat mengkomando panitia pelaksana yang sebagian besar adalah santrinya lewat mick speaker dari kamarnya. Ketika Presiden Soeharto dan beberapa menteri serta para kiai peserta muktamar menjenguknya, Kiai Ali juga masih sempat menerima mereka dengan berbaring di kamarnya.
Wal hasil, Muktamar dapat berjalan dengan sukses, dengan mengantarkan kembali KH Ahmad Shiddiq sebagai Rois ‘Am dan KH Abdurahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode yang kedua kalinya. Seminggu setelah Muktamar, KH Ali Maksum jatuh sakit dan dirawat di RS DR Sardjito selama seminggu, kemudian wafat ketika adzan Maghrib berkumandang pada pukul 17,55 WIB di hari Kamis malam Jum’at, tanggal 7 Desember / 15 Jumadil Awwal 1989 dalam usia 74 tahun. Jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at dan dikebumikan berdampingan dengan makam KHM Munawwir di dusun Senggotan (Dongkelan) Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta.
Beliau wafat dengan meninggalkan seorang isteri, Nyai Hj. Rr. Hasyimah Munawwir dan 8 orang putra-putri : 1) Adib (wft masih kecil), 2) KH Atabik Ali, 3) H. Jirjis Ali, 4) Nyai Hj. Siti Hanifah Ali, 5) Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali, 6) Nafi’ah (wafat masih kecil), 7) M. Rifqi Ali (Gus Kelik), dan 8) Hj. Ida Rufaidah Ali.
Selain itu beliau juga meninggalkan :
1). Lembaga pendidikan yang begitu besar (madrasah dll), yang pada masa selanjutnya dikelola oleh Yayasan Ali Maksum Pondok Peantren Krapyak Yogyakarta pimpinan KH Atabik Ali;
2). Karya tulis yang meliputi :
a. Mizanul ‘Uqul fi Ilmil Mantiq, yang berisi prinsip-prinsip dasar ilmu mantiq
b. Ash-Shorful Wadhih, yang berisi kaidah-kaidah dan amtsilatut tashrif (latihan praktis tashriful kalimah) dengan metode baru temuan KH Ali Maksum.
c. Hujjatu Ahlissunnah Wal Jama’ah, berisi kajian dalil-dalil / argumentasi syar’iyyah yang dijadikan sebagai dasar berpijak kaum nahdhiyyin dalam melaksanakan amaliah atau tradisi ke-NU-an.
d. Jawami’ul Kalim : Manqulah min ahadits al-Jami’ ash-shoghir murattabah ‘ala hurufl hijaiyyah ka ashliha, berisi koleksi hadis-hadis pendek yang mengandung pemahaman yang luas dan dalam, yang dicuplik dari kitab al-Jami’us Shoghir.
e. Ajakan Suci : Pokok-pokok Pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama, merupakan kumpulan makalah tulisan KH Ali Maksum yang tersebar di Majalah Bangkit, surat kabar, forum seminar, dan media cetak lainnya
f. Eling-eling Siro Manungso, yang berisi kumpulan syi’iran sholawatan berbahasa Jawa gubahan KH Ali Maksum.
Sumber :
[1] ) A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum : Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 1989, cet.1, halm. 6-7
[2] ) Meskipun putra seorang kiyai besar, Ali Maksum tidak suka dipanggil “Gus” sebagaimana yang lazim digunakan untuk memanggil semua putra kiyai, melaikan lebih suka dipanggil “Wak”. Mungkin kata ini berasal dari “Uwak” yang lazim digunakan sebagai panggilan kehormatan untuk orang-orang yang dituakan
[3] ) “Munjid” merupakan judul buku kamus atau ensiklopedi bahasa arab terlengkap di dunia yang ditulis oleh Louis Ma’luf dari Libanon.
[4] ) Gus Hamid atau KH Abdul Hamid dari Pasuruan, yang lebih dikenal dengan panggilan “mBah Hamid” ini merupakan seorang ulama’ kharismatik, pengasuh sebuah pesantren di Jl. Jawa Pasuruan, oleh kaum muslimin pada umumnya dipandang sebagai seorang Waliyullah yang memiliki banyak karomah. Beliau adalah seangkatan KH Ali Maksum sewaktu nyantri di pesantren Tremas, dan menjadi besannya dengan dinikahkannya Gus Nasikh bin KH Hamid dengan Ny.Hj. Durroh Nafisah binti KH Ali Maksum.
[5] ) KH A. Mukti Ali, KH Ali Ma’shum Itu Guru Saya, dalam A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum: Perjuangan …., ibid., halm. Ix.
[6] ) A. Zuhdi Muhdlor, ibid. halm. 17 (wawancara A. Zuhdi Mukhdlor dengan KH Ali Maksum, 1 Oktober 1989).
[7] ) Semua peserta harus mentaati instruksi atau tata aturan Kiyai Ali. Yang melanggar akan kena hukuman. KHA Warson pernah dihukum berdiri dan diikat di tiang masjid sampai pengajian selesai, gara-gara beliau tidak menghafalkan bait-bait alfiyah. (Wawancara dengan KHA Warson, 04-09-2010).
[8] ) A. Zuhdi Mukhdlor, op.cit., halm. 78-77.
Tentang kemasyhuran nama KH Ali Maksum dan pesantren Al-Muanwwir di dunia internasional, bahwa berkat jasa KH Ali Maksum atas kepeloporannya dalam menolak dan menggagalkan rencana penyelenggaraan Konferensi Dewan Gereja Se-Dunia di Indonesia. Kepeloporan ini ternyata gaungnya sangat kuat di Negara-negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi, sehingga Sekjen Rabithah ‘Alam Islami, Syaikh Ali Al-Harakan mengirimkan utusan khusus menemui beliau untuk mengucapkan terima kasih, bahkan Raja Faishal dari Saudi Arabia memberi hadiah kenang-kenangan kepada beliau berupa gedung bertingkat dua yang menyatu dengan kediamannya.
[9] ) A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 90-91
Diantara sambutannya berbunyi :
يَا اَللَّهُ اِنَّنِيْ ذَلِيْلٌ فَأَعِزَنِيْ وَ اِنَّنِيْ فَقِيْرٌ فَأَغْنِنِيْ وَ اِنَّنِيْ ضَعِيْفٌ فَقَوِنِيْ يَا اَللَّهُ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. يَا سَادَتِيْ اِنِّيْ قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ وَ إِذَا رَاَيْتُمْ فِيَّ اِعْوِجَاجًا فَقَوِّمُوْنِيْ وَاعْزِلُوْنِيْ وَاطْرَحُوْنِيْ فِى الْمِزْبَلَةِ
Artinya: “Ya Alloh, sungguh kami ini hina, maka tinggikanlah kami. Kami ini fakir, maka kayakanlah. Kami ini lemah, maka kuatkanlah. Ya Arhamarrohimin. vWahai kawan-kawan, sungguh kalian telah memberi kami kekuasaan, padahal kami bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Karena itu,jika kalianmelihat kami berlaku bengkok, maka luruskanlah kami, tinggalkanlah kami dan bahkan campakkan kami ke tempat kotoran….”
[10] ) Salah satu pidato Kiyai Ali yang monumental soal pentingnya regenrasi, sebagai berikut :
“ …. Marilah kita terima kehadiran generasi muda, karena wujudnya generasi muda ini adalah termasuk salah satu kewajiban yang harus kita wujudkan. KApan mereka menjadi dewasa kalau tidak kita tuntun mulai sekarang, dan kapan pula mereka mempunyai rasa tanggung jawab, kalau tidak mulai sekarang kita latih untuk melaksanakan tugas perjuangan ini” (A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 89).
[11] ) A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 86-106
…. Begitu intens keterlibatan KH Ali Maksum dalam NU seolah NU menjadi jiwanya. Bahkan dengan serius Kiai Ali membuatkan bekal bagi pengurus dan warga NU dalam meraih sukses organisasi. Bekal yang dimaksud adalah 1) Ats-Tsiqotu bi Nahdlotul Ulama; 2) Al-Ma’rifatu wal Istiqon bi NU; 3) Al-Amalu bi Ta’limi NU; 4) Al-Jihadu fi Sabili NU; dan 5) Ash-Shobru fi sabili NU. (Ibid., halm. 98 – 106).
[12] ) Isi kandungan dari “syi’iran sholawatan” gubahan Kiai Ali tersebut mengingatkan kaum muslimin tentang kondisi kehidupan yang mesti dialami oleh setiap orang yang wafat. Ketika wafat, seseorang akan berpisah dari keluarga dan harta bendanya. Setelah mengantarkan ke kuburan, mereka akan meninggalkannya. Seluruh harta yang ditinggalkannya tidak akan dibawa, kecuali selembar kain kafan, bahkan hartan itu akan menjadi rebutan. sewaktu sowan kehadirat Alloh sendirian dan tanpa ditemani seorang pun, kamu tidak perlu susah dan bingung. Yang penting, kerjakan amal sholeh (selama masih hidup di dunia) untuk meraih ridho Allah.
[13] ) Ke-tawadhu’-an dan tidak suka dihormati secara berlebihan nampak pada sikapnya yang lebih suka dipanggil “Pak Ali” daripada “KH Ali”, “mBah Kiai Ali”. Beliau tidak menyukai orang yang mencium tangannya sambil dibolak-balik ketika bersalaman, berjalan “ngesot” ketika sowan sebagaimana yang dilakukan abdi dalem kepada rajanya di Kraton, menundukkan kepala dan diam seribu bahasa seperti patung ketika berhadapan dengan kiai dan lain-lain. Hal ini disamping untuk menghindari pengkultusan juga menunjukkan sikap ketawadhu’annya dan kedekatan hubungannya dengan para santri.
[14] ) Ketika terjadi kasus penganiayaan “pemukulan” yang dilakukan oleh pemuda Dirman (mantan santrinya yang terganggu kejiwaannya), terhadap Kiai Ali sesuai memberikan ceramah Haul almarhum KH Bisri Mustofa di pondok Rembang, semua orang dari berbagai pihak (keluarga, para santri, kaum muslimin khususnya nahdhiyyin, pemerintah, militer dll) merasa gerah dan menginginkan agar pelakunya dihukum berat, namun beliau dengan lapang dada justru memaafkannya tanpa satu pun syarat, bahkan ibunya yang jualan di pasar Lasem diberi bantuan uang untuk tambahan modal, sekalipun kasus tersebut berakibat fatal terhadap kesehatannya, dimana sejak saat itu beliau sering sakit-sakitan sampai wafatnya. (Wawancara dengan KH Atabik Ali (18-07-2010), KH. Munawwir AF (17-07-2010), dan bandingkan dengan A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum : Perjuangan ….., halm. 29-31
[15] ) Menurut pengakuan Prof. DR. KH Agiel Siroj, MA, bahwa sewaktu menjadi santri di Krapyak, dirinya sering diajak Kiyai Ali nonton TV bareng penampilan petinju Muhammad Ali di kamar pribadinya. Ini menunjukkan kedekatan emosional dan spiritual murid dengan guru. (M. Dawam Sukardi, Prof. DR. KH Agiel Siroj, MA :: NU Sejak Lahir , Dari Pesantren Untuk Bangsa; Kado Buat Kyai Said. Jakarta : SAS Center, 2010, halm. 40)
[16] ) Pada bulan syawal tahun 1982, setelah menghadiri acara Halal Bihalal di Surabaya, Kiyai Ali mengunjungi alumni angkatan 1970-an, H. Asa Asy’ari dan Afif Chozin di Tambak Osowilangun Benowo Surabaya, kemudian mampir ke rumah penulis dan sekaligus diajak kembali ke pesantren Krapyak. Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, beliau mampir mengunjungi salah seorang pengurus PWNU Jatim, KH Hasyim Lathif di daerah Sepanjang Sidoarjo, kemudian sesampainya di Solo beliau mampir lagi mengunjungi KH Umar di PP Al-Muayyad Mangkuyudan Solo dan istirahat beberapa jam, lalu melanjutkan perjalanannya.
[17] ) Wawancara dengan Drs. KH Henry Sutopo, 17-07-2010
[18] ) Wawancara dengan KH Asyhari Abta, M.Pd.I, 18-07-2010
[19] ) Wawancara tanggal 17 Juli 2010 dengan KH A. Warson Munawwir, KH Asyhari Abta, KH Munawwir AF, KH Heri Sutopo
[20] ) M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta : Gelegar Media Indonesia, 2009, cet.1, halm
[21] ) Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai. NU, Pesantren dan Kekuasaan : Pencarian Tak Kunjung Usai. Yogyakarta : Kutub, 2003, cet.1, halm. 272
[22] ) Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai. NU, Pesantren dan Kekuasaan : Pencarian Tak Kunjung Usai. Yogyakarta : Kutub, 2003, cet.1, halm. 280
[23] ) Kegemaran dan kecintaan Kiyai Ali dalam mengkaji kitab-kitab tersebut terus berlanjut ketika menjadi pengasuh PP AL-Munawwir Krapyak. Hal ini terlihat pada banyaknya kitab-kitab yang memenuhi lemari-lemari perpustakaan pribadi di rumahnya. Saking cintanya terhadap kitab-kitab pribadi tersebut membuat Kiyai Ali terbilang “bakhil”, yakni bakhil dalam pengertian tidak akan meminjamkan kitab tersebut keluar rumah, khawatir tidak dikembalikan, karena berkali-kali kitab beliau “hilang” karena tidak dikembalikan oleh peminjamnya. Oleh karenanya, setiap lemari perpustakaan pribadinya terdapat tulisan “Boleh dibaca, Haram Dibawa”. (Wawancara dengan Drs. KH Heri Sutopo, 17 Juli 2010).
[24] ) KH A. Mukti Ali, KH Ali Ma’shum Itu Guru Saya, dalam A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum: Perjuangan ….op.cit., halm. Ix.
[25] ) Para santri alumni didikan Kiyai Ali antara lain: Prof.DR.KH A Mukti Ali (Guru Besar Fak Usuluddin IAIN Yogya, mantan Menteri Agama RI), KH A. Mustofa Bisri (Rembang), KHM Cholil Bisri (Rembang), KHM Yusuf Hasyim (Tebuireng), KH Maksum Ahmad (tanggulangin Sidoarjo : Pengasuh pesantren dan muballigh), KH Abdul Aziz Masyhuri (Jombang: Pengasuh pesantren), KH Abdurrahman Ar-Roisi (Jakarta: penulis dan muballigh), KH Masdar Farid Mas’udi, Drs. H. Slamet Efendi Yusuf, Prof.DR. KH Said Agiel Siroj, MA, Prof. DR. Yudian Wahyudi, KH Zainal Abdin Muanwwir, KH Ahmad Warson Munawwir, KH Drs, Asyhari Abta, M.Pd.I, KH Munawwir AF, KH Drs. Henry Sutopo, KH Drs, Asyahri Marzuki, Lc., KH DR. Malik Madani, MA., dan lain-lain.
KH ALI MAKSHUM
1. Masa Kecil KH Ali Makshum
KH Ali Maksum adalah putra pertama dari hasil perkawinan KH Ma’shum bin KH Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem, yang lahir pada tanggal 2 Maret 1915 di desa Soditan Lasem kabupaten Rembang, di tengah gencarnya kaum pembaharu (modernis) melancarkan serangan terhadap keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang dipandang menghambat kebebasan berijtihad, mengembang-kan pemikiran irrasional semacam khurafat, takhayul dan bid’ah, dan sulit diajak untuk maju.
Keluarga KH Ali Maksum, sejak dari jaman kakek-kakeknya dahulu sampai jamannya adalah keluarga besar yang kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari nilai-nilai kepesantrenan. KH Ma’shum yang terkenal dengan panggilan mBah Ma’shum ini merupakan pendiri sekaligus pengasuh pesantren Al-Hidayah di desa Soditan, Lasem, Rembang. Sejak kecil, KH Ali Maksum belajar dan dididik secara keras di pesantren ayahnya sendiri yang saat itu menjadi pusat rujukan para santri dari berbagai daerah, terutama dalam pengajaran kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya Ibnu ‘Aqil (Nahwu, Shorof dan Balaghah), dan kitab Jam’ul Jawami’. mBah Ma’shum berharap agar putranya nanti menjadi seorang ulama ahli fiqih, sehingga beliau menggembleng Ali kecil setiap harinya dengan pelajaran kitab-kitab fiqih. Sementara itu beliau juga mengajarkan kitab-kitab lainnya kepada para santri, terutama kitab-kitab ilmu nahwu, shorof dan balaghah. Akan tetapi kecenderungan Ali kecil justru lebih senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan shorof. Ali kecil kemudian belajar beberapa waktu di pondoknya KH Amir di Pekalongan.
2. Menuntut Ilmu ke Pondok Tremas.
Setelah Ali memasuki usia remaja (usia 12 tahun), mBah Ma’shum berfikir untuk menitipkan pendidikan anaknya itu kepada kiai lain yang terbilang masih temannya, yakni KH Dimyati yang memimpin pesantren Tremas Pacitan (1894 – 1934), karena tidak terbiasa orang tua mendidik anak kandungnya sendiri sampai dewasa. Pada saat itu, Pesantren Tremas yang terletak di pelosok Pacitan dan hanya dapat dicapai dengan jalan kaki beberapa lama ini merupakan pesantren yang cukup popular, terkenal dan berwibawa, disebabkan oleh tiga alasan : Pertama, pesantren Tremas secara tegas menolak dan menentang penjajah Belanda, serta berusaha menghindar dari pengaruh budayanya. Kedua, sebagian besar ahli bait (keluarga) pesantren Tremas tergolong sangat ‘alim, sehingga keberadaan Tremas saat itu sebagai gudangnya ilmu agama sangat diperhitungkan. Bukti kealiman mereka terukir dalam sejarah, dengan munculnya nama Syaikh Mahfuzh at-Tarmasi (wafat di Makkah, 1918 M) di Dunia Islam yang menjadi ulama besar berkaliber internasional di Tanah Haram, penulis produktif dan guru besar di bidang hadis Shahih Bukhari serta diberi hak untuk mengajar di Masjidil Haram. Ketiga, kegiatan ilmiah di Tremas sangat intensif, karena mendapatkan dorongan sepenuhnya dari kiai dan keluarganya. Bahkan kebebasan ilmiah yang dikembangkan pesantren Tremas berakibat pada munculnya “Madrasah” kontroversial didalam pondok pada tahun 1928 yang didirikan seorang santri senior bernama Sayyid Hasan Ba’bud, dengan tenaga pengajar yang kesemuanya berasal dari luar pesantren. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren Tremas sangat bervariasi seperti Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Minhajul Qawim, Al-Asybah wan-Nazhair, Shahih Bukhari dan Muslim, Alfiyah Ibnu Malik, dll. Mubahatsah (pembahasan) kitab berjalan setiap malam. Di samping itu didukung oleh kebijakan kiai yang memberi kesempatan kepada para santri senior yang mampu untuk mengajari santri adik kelasnya. Kondisi seperti itu lalu menumbuhkan semangat para santri untuk berkompetisi di bidang keilmuan.[1]
Dengan kondisi pesantren Tremas yang sangat mendukung pengembangan keilmuan tersebut, maka pada tahun 1927 M, Ali Maksum dikirim ke pesantren Tremas Pacitan untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Oleh KH Dimyati, Ali Maksum secara istimewa diminta untuk tidak tinggal di kamar-kamar santri pada umumnya, akan tetapi tinggal di komplek “ndalem”, yakni komplek keluarga KH Dimyati, satu kamar dengan Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmasi. Keistimewaan ini barangkali merupakan rasa hormat KH Dimyati kepada KH Maksum, karena di kalangan para kiai ada semacam tradisi saling menitipkan pendidikan putranya kepada kiai lain. Dalam hal ini, KH Maksum menitipkan putranya yang bernama Ali kepada KH Dimyati di pesantren Tremas, sementara KH Dimyati sendiri menitipkan putranya yang bernama Gus Hamid Dimyati dan Habib Dimyati, kepada KH Maksum di pesantren Al-Hidayah Lasem.
Ali Maksum, yang dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren lebih dikenal dengan panggilan Wak Ali ini,[2] nampak paling menonjol diantara para santri yang lain dan sudah menampakkan bakat-bakat keulamaannya. Hal ini bukan disebabkan oleh kebesaran nama ayahnya, akan tetapi disebabkan oleh kejeniusan otaknya, ketekunan belajarnya, kedalaman ilmunya, keluasan wawasannya, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, kreatif, inovatif, kekuatan pribadinya, jiwa kepemimpinannya, dan hal-hal lainnya.
Menurut saksi mata, sebagaimana yang dituturkan oleh KH Habib Dimyati, bahwa Wak Ali setiap harinya tidak lepas dari kitab-kitab besar. Semangat belajarnya hebat melampaui usianya yang sangat muda dan melintasi batas-batas yang ditetapkan pesantren. Wak Ali sering tidak tidur sampai larut malam, sehingga tidak aneh jika kamarnya terlihat tidak rapi, karena di sana-sini banyak kitab-kitabnya berserakan dalam keadaan terbuka. Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmisi, yang tinggal sekamar banyak berguru kepada Wak Ali dalam hal membaca kitab kuning. Maklum, meskipun lama bermukim di Makkah, Gus Muhammad lebih mengkhususkan diri pada ulumul Qur’an. Yang dipelajari Wak Ali bukan hanya terbatas pada kitab-kitab mu’tabarah karya ulama’ salaf sebagaimana yang diajarkan oleh kiainya, akan tetapi juga mempelajari kitab-kitab tulisan ulama’ pembaharu seperti kitab Tafsir Al-Manar tulisan Rasyid Ridha murid Muhamad Abduh, kitab Tafsir Al-Maraghi, kitab Fatawa tulisan Ibnu Taimiyah, kitab-kitab tulisan Ibnul Qayyim dan kitab-kitab baru lainnya. Padahal kitab-kitab tersebut menjadi larangan para kiai di beberapa pesantren tradisional untuk dibaca dan dipelajari para santrinya. KItab-kitab para pembaharu tersebut diperoleh Wak Ali dari kiriman kawan-kawannya di Tanah Haram, santri ayahnya dan keluarga Tremas yang pulang dari pergi haji. KH Dimyati selaku pengasuh pesantren sebenarnya mengetahui hal itu, apalagi Wak Ali tinggal didalam komplek nDalem, akan tetapi beliau sengaja mendiamkannya, karena Wak Ali dipadang memiliki dasar-dasar tradisi pesantren yang kuat. Bahkan memperluas wawasan dengan kitab-kitab tersebut bagi Wak Ali sangat diper-lukan sebagai muqabalah (perbandingan). Barangkali karena latar belakang referensinya yang luas inilah yang menjadikan Wak Ali sebagai seorang ulama’ yang berwawasan luas, dalam, dan berpandangan lebih moderat bila dibanding dengan para kiai alumni pesantren lainnya.
Wak Ali sangat gemar mempelajari Ilmu tafsir Al-Qur’an, yang nantinya mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama’ ahli tafsir yang terkemula di Indonesia. Demikian pula dalam ilmu bahasa arab, Wak Ali sangat menguasai kitab-kitab nahwu tingkat tinggi seperti kitab Dahlan, Asymuni, Alfiyah Ibnu Malik dan syawahid-nya, sehingga di kemudian hari mengantarkannya menjadi seorang pakar ahli bahasa Arab yang terkenal. Julukan “Munjid berjalan”[3] untuk KH. Ali Maksum menunjukkan penguasaannya di bidang bahasa Arab beserta cabang-cabangnya. Atas kegemaran, ketekunan dan keahlian inilah yang mengantarkan KH Ali Maksum berhasil menciptakan metode baru dalam pembelajaran ilmu shorof yang dinilai cukup praktis dan efektif, yang kemudian diberi judul “Ash-Sharful Wadhih”. Metode ini berbeda dengan metode shorof yang sudah mapan saat itu, misalnya metode tashrif susunan Kiyai Muhammad Ma’shum bin Ali dari Jombang dalam bukunya yang berjudul “Al-Amtsilah at-Tashrifiyah”.
Kegemaran lain Wak Ali di bidang keilmuan adalah menghafal dan mempelajari secara intens syiir-syiir dan butir-butir kalam hikmah yang sangat berguna kelak ketika menjadi seorang ulama’ besar, dimana setiap ada kesempatan dalam berpidato, berceramah, mengajar, memberikan pembinaan dan lain-lain, sering keluar dari mulutnya untaian kalam hikmah dan syiir-syiir tersebut.
Wak Ali Maksum yang sejak muda tidak gemar tirakat, puasa ngrowot dan perilaku nyeleneh lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian santri di pesantren-pesantren salafiyah pada umumnya ini juga memiliki kegemaran musik. Beliau suka memukul-mukul daun pintu atau apa saja yang ditemui dengan ujung jarinya untuk mengiringi alunan nyanyian, dan bahkan menyukai lagu-lagu berbahasa inggris yang diiringi musik jazz. Kegemaran ini masih terbawa ketika sudah menjadi seorang kiyai yang mengasuh pesantren Krapyak, dimana lagu-lagu jazz tersebut sering diputar dan didengarkan didalam kamar pribadinya sambil beliau dipijiti para santri, bahkan terkadang suaranya sampai keluar melalui mic speaker sehingga para santri ikut menikmati lagu-lagu tersebut. Dalam bidang olahraga, Wak Ali sama sekali tidak memiliki kegemaran, kecuali gemar membersihkan lingkungan pondok dari daun-daun kering, mengambili kertas-kertas bekas dan sampah kering lainnya. Berbeda dengan Gus Hamid[4] dari Pasuruan yang gemar main sepakbola.
Mengingat kejeniusannya, ketekunan belajarnya, kedalaman dan keluasan ilmunya, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, dan bakat keulamaannya, Wak Ali dipercaya oleh KH Dimyati untuk mengajar para santri dalam usia yang sangat muda. Dalam menjalankan tugas mengajar, Wak Ali sangat menguasai materi kitab yang dibebankan kepadanya, tegas, disiplin dan simpatik. Oleh karenanya, beliau memperoleh kedudukan yang terhormat di kalangan keluarga pesantren dan santri.
Dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren, Wak Ali adalah “simbol keteladanan”. Beliau bersama-sama dengan Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat Dimyati dan Gus Muhammad bin Syaikh Mahfuzh at-Tirmasi sangat populer dengan sebutan “Empat Serangkai”, karena dari merekalah muncul ide-ide segar untuk memajukan dan mengembangkan pesantren Tremas. Diantaranya adalah ide dari Wak Ali tentang perlunya menerapkan sistem madrasi dalam sistem pendidikan pesantren Tremas, dengan tenaga pengajar dari dalam pesantren sendiri. Semula ide ini ditolak oleh KH Dimyati, karena trauma dengan pendirian madrasah kontroversial oleh Sayyid Hasan Ba’bud. Setelah konsep dari ide tersebut dipandangnya jelas dan mendukung kemajuan pesantren, maka KH Dimyati mengijinkan berdirinya madrasah tersebut, dengan Wak Ali Maksum sebagai direkturnya. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Wak Ali, yang ketika itu baru berusia 19 tahun, untuk melakukan pembaharuan di bidang metode pengajaran dan kurikulumnya, diantaranya dengan cara memasukkan kitab-kitab baru karya ulama modern kedalam kurikulumnya, seperti kitab Qiroatur Rosyidah, an-Nahwul Wadhih dan lain-lain. Setelah Wak Ali Maksum pulang “boyongan” ke Lasem, kepemimpinan madrasah diserahkan kepada Gus Hamid Dimyati sebagai direktur dan A. Mukti Ali sebagai wakilnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali berkomentar, bahwa Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya meng-gunakan sistem pesantren ke sistem madrasi. [5]
3. Berguru ke Tanah Haram Makkah.
Sepulangnya ke Lasem pada tahun 1935, KH Ali Maksum membantu ayahnya mengajar di pesantren Al-Hidayah, terutama dalam disiplin ilmu bahasa arab dan Tafsir Al-Qur’an yang menjadi kegemaran dan spesialisasinya selama belajar di pesantren Tremas. Selain mengajar, KH Ali Maksum juga membenahi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Semangat pembaharuan mulai beliau tiupkan, dan ternyata mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena pembaharuan yang diterapkannya sama sekali tidak mengancam keberadaan pesantren berikut segala pranatanya, melainkan justru menguatkan-nya. Pembaharuan yang beliau lakukan tetap berpedoman pada prinsip: Al-Muhafazhatu ‘alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, yaitu mempertahankan tradisi lama yang masih baik (layak) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Pada tahun 1938, KH Ali Maksum menikahi Rr. Hasyimah putri KHM Munawwir. Beberapa hari setelah pernikahannya, seseorang bernama H. Junaid dari Kauman Yogyakarta melalui KH Maksum menawarkan tiket gratis kepada KH Ali Maksum untuk beribadah haji. Sebulan kemudian, KH Ali Maksum bertolak menuju Makkah lewat pelabuhan Semarang, dan kesempatan tawaran beribadah ini sekaligus digunakan untuk thalabul ilmi, mengaji kepada beberapa ulama’ besar di Makkah, diantaranya berguru kepada Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki (ayah Sayyid DR. Muhammad Alwi Abbas Al-Maliki) untuk mengaji kitab Al-Luma’ dan lain-lain, juga berguru kepada Syaikh Umar Hamdan untuk mengaji kitab Shahih Bukhari dan kitab hadis lainnya, serta memperluas wawasan dengan mengkaji kitab-kitab kaum modernis seperti karya Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridha, Jalaluddin Al-Afghani, dan lain-lain.
Selama dua tahun tinggal di Makkah, berarti dua kali pula Ali Maksum menunaikan ibadah Haji. Selama itu pula, Ali Maksum berhubungan dengan para masyayikh, sesama para pelajar dan jamaah haji Indonesia. Kepada jamaah haji yang dikenalnya, ia menitipkan kitab-kitabnya untuk dibawa ke Lasem, terutama kitab-kitab baru tulisan para ulama’ pembaharu, disamping kitab-kitab yang ia tumpuk untuk dibawa sendiri pada tahun 1940.[6]
4. Menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak YogyakartaSepeninggal K.H.M. Munawwir, sesuai dengan wasiat dan kesepakatan kekuarga, kepemimpinan pesantren kemudian diambil alih oleh kakak beradik, K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir. K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan sarana prasarana pesantren dan hubungan dengan luar pesantren, dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan pengajaran Al-Qur’an. Namun satu persatu santri pulang meninggalkan pesantren, dan belum genap 100 hari wafatnya, jumlah santri tinggal puluhan orang. Bersamaan dengan itu, masuknya penjajah Jepang ke Indonesia semakin memperparah kondisi pesantren, sehingga santri tinggal beberapa orang, padahal jumlah santri saat wafatnya K.H.M. Munawwir mencapai 200-an lebih. Walaupun demikian, aktifitas kepesantrenan (pengajian Al-Qur’an) tetap berjalan seperti masa-masa sebelumnya dengan jumlah santri apa adanya.
Dari fenomena ini sementara dapat disimpulkan bahwa kewibawaan dan kekharismaan K.H.M. Munawwir merupakan faktor penyebab kebesaran pesantren, dan hal ini ternyata tidak mampu diatasi oleh penggantinya selaku turunan langsung yang secara tradisional mewarisi kepemimpinan dan kharisma dari ayahnya. Kondisi ini membuat keluarga besar K.H.M. Munawwir merasa resah dan khawatir terhadap kelestarian pesantren ke depan. Maka pada tahun 1943, musyawarah keluarga Bani Munawwir memutus-kan untuk mengirim delegasi menemui Kiai Ali (menantu K.H.M. Munawwir), yang saat itu telah berhasil membenahi sistem pendidikan pesantren ayahnya di Lasem dan mampu mendongkrak jumlah santri, agar bersedia diajak ”hijrah” ke Krapyak untuk mengatasi krisis tersebut. Namun ajakan ini ditolak tegas oleh Kiai Ali Maksum. Beberapa bulan kemudian, datang lagi utusan ke Lasem. Kali ini yang datang adalah Nyai Sukis sendiri (isteri K.H.M. Munawwir, ibu mertua Kiai Ali) dengan didampingi K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir, yang mengharap dengan sangat agar Kiai Ali bersedia diboyong ke Krapyak. Akhirnya kekerasan hati Kiai Ali luluh dan menerima ajakan itu. Sejak kepindahan Kiai Ali ke Krapyak ini (1943), pesantren Al-Munawwir di bawah kepemimpinan ”tiga serangkai” dengan pembagian tugas sebagai berikut :
1). K.H.R. Abdullah Affandi (putra, wafat 1968), dengan tugas sebagai pimpinan umum, menangani urusan sarana-prasarana dan hubungan dengan dunia luar pesantren
2). K.H.R. Abdul Qadir (putra, wafat 1961)), dengan tugas sebagai pengasuh Tahfizh Al-Qur’an dan urusan intern pesantren
3). K.H. Ali Maksum (menantu), sebagai penanggung jawab urusan pengajaran kitab-kitab kuning dan pembenahan sistem pendidikannya.
Dari ketiga pemimpin tersebut, Kiai Ali merupakan orang yang memiliki kelebihan. Disamping keahlian, kedalaman dan keluasan wawasan di bidang keilmuan, juga dipandang lebih mumpuni, lebih dewasa, lebih berpengalaman dan lebih siap memimpin pesantren. Dengan bermodalkan pengalaman dan potensi yang dimiliki selama menjadi santri di pesantren Tremas dan membenahi pesantren ayahnya di Lasem, serta tugas berat ”amanah” yang dibebankan kepadanya tersebut, Kiai Ali mulai mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk mencari titik-titik lemah yang menjadi sumber kemunduran beserta jalan keluarnya, kemudian menetapkan beberapa langkah strategis, diantaranya: 1) perlunya kaderisasi ulama / tenaga pengajar inti dari dalam pesantren, dan 2) perlunya pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum pesantren.
Selama dua tahun pertama (antara tahun 1943 – 1944), aktifitas secara intensif difokuskan pada usaha kaderisasi ulama, tenaga pengajar dan pengelola dari lingkungan keluarga pesantren, dengan melibatkan seluruh putra dan menantu K.H.M. Munawwir, serta tetangga. Sedangkan aktifitas kepesantrenan (pengajaran Al-Qur’an) dan penerimaan santri dari luar untuk sementara dibekukan. Peserta yang mengikuti pengkaderan terdiri dari : KHR Abdul Qodir Munawwir (pengasuh), KH Zaini Munawwir, KH Zainal Abidin Munawwir, KH Ahmad Munawwir, KH Dalhar Munawwir, KH A. Warson Munawwir, KH Nawawi Abdul Aziz (menantu), KH Mufid Mas’ud (menantu), KH Habib Dimyati (Tremas), H. Wardan Junaid (Kauman Yogyakarta), Abdul Hamid (tetangga, Krapyak), dan KH. Zuhdi Dahlan (tetangga, Jogokaryan). Murid-murid pertama ini tidak mengecewakan dan tidak satupun diantara mereka yang “melorot” (kendur) semangatnya, padahal mereka harus mengikuti pengajian berbagai macam kitab kuning dengan sistem halaqah/weton dan sorogan, sejak sehabis sholat subuh sampai pukul 21.00 secara nonstop, kecuali sekedar waktu untuk shalat dan makan, dan disiplin yang diterapkan betul-betul sangat ketat, terutama yang diterapkan kepada peserta ahlul bait (keluarga pesantren).[7]
Hasilnya, seluruh peserta kaderisasi memiliki kesiapan dalam segala hal untuk bersama-sama mengelola, memajukan dan mengembangkan pesantren. Mereka menjalankan tugas, wewenang, dan aktifitas sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Maka dalam jangka waktu yang relatif singkat, pesantren Al-Munawwir selama dalam kepengasuhan Kiai Ali mengalami perkembangan pesat setahap demi setahap. Hal ini ditandai dengan :
a) Berkembangnya sistem pendidikan yang tidak lagi dipusatkan pada pengajaran Al-Qur’an, akan tetapi juga pada kajian kitab kuning, yang keduanya dapat berjalan secara seimbang, sehingga menjadi aktifitas utama sekaligus menjadi ciri khas pesantren.
b) Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal/klasikal dalam bentuk madrasah, meliputi : 1). Madrasah Ibtidaiyah putra 4 tahun (1946); 2) Madrasah Tsanawiyah Putra 3 tahun (1947) dan SMP Eksakta Alam (1951-1954); 3) Madrasah Banat (1951); 4) M. Aliyah Salafiyah putra 3 tahun (1955); 5) Madrasatul Huffazh (1955); 6) TK (1957); 7) Madrasah Diniyah (1960); 7) Tsanawiyah 6 tahun (1962-1986); 6) MTs dan Aliyah 3 tahun (1987);
c) semakin bervariasi (santri takhassus, santri kalong, sekolah didalam dan diluar pesantren) dan meningkatnya jumlah santri yang tertarik belajar di pesantren Krapyak;
d) semakin terkenalnya nama pesantren di tingkat Nasional dan dunia internasional, terutama di negara-negara Timur Tengah,[8] apalagi semenjak Kiai Ali menjadi Rois ’Am (1981-1984) dan menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-28 (1989), kepopuleran dan peran pesantren Al-Munawwir diperhitungkan oleh berbagai pihak.
Disebabkan oleh perannya yang begitu besar sebagai motivator, dinamisator, katalisator, inspirator (penggagas) kaderisasi ulama dalam kepemimpinan pesantren, dan sebagai power bagi komunitas yang dipimpinnya, serta sebagai sumber pengetahuan, maka dari sudut ini, Kiai Ali dapat dipandang sebagai sesepuh Krapyak, sekaligus sebagai pembangun pesantren yang sebelumnya telah dirintis dan didirikan oleh K.H.M. Munawwir.
5. Pengabdiannya di Jam’iyyah NU
Di sela-sela kesibukannya sebagai pengajar dan pengasuh pesantren Al-Munawwir Krapyak, Kiai Ali sejak masa-masa awal sudah simpatik terhadap jam’iyyah NU. Terutama sekitar tahun 1950-an ketika suhu politik memanas akibat semakin nyaringnya suara kaum nahdhiyyin untuk keluar dari Masyumi, dan terealisir ketika Muktamar di Palembang tahun 1952 yang memu-tuskan NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai “NU” sendiri. Untuk menghadapi Pemilu pertama tahun 1955, Kiai Ali mulai aktif berkampanye untuk partai NU dengan cara tidak langsung turun ke lapangan sebagai jurkam, melainkan lewat pendidikan kader kepada para santri Krapyak dan melalui pembicaraan non formal dengan para tamu yang sowan ke rumahnya. Hasilnya, Partai NU memperoleh suara terbanyak rangking ketiga setelah PNI dan PKI. Dari Pemilu tersebut, Kiai Ali akhirnya terpilih menjadi anggota konstituante yang mewakili NU Yogyakarta.
Pada tahun 1960-an, tatkala PKI tengah gencar memusuhi kaum muslimin dan mengancam para kiai, Kiai Ali justru diminta menjadi Rois Syuriyah PWNU propinsi D.I.Yogyakarta secara terus menerus sampai beliau dikukuhkan sebagai Rois ‘Am PBNU menggantikan posisi KH Bisri Syansuri yang wafat, melalui Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Sleman Yogyakarta, 30 Agustus – 2 September 1981.
Kiai Ali sebenarnya kurang tertarik dengan dunia politik praktis dan menolak keras ketika dicalonkan sebagai Rois ‘Am. Berulang kali Kiyai Ali mengatakan, “Demi Allah, jangan dipilih”, mengingat dorongan yang sangat kuat dari banyak kiyai, terutama pendapat KH Ahmad Shiddiq di forum Munas: “Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cocok untuk menjadi Rois Am daripada KH Ali Maksum”, dan ternyata kemudian disetujui oleh farum Munas secara aklamasi, maka dengan rasa berat Kiai Ali mau menerimanya dengan syarat hanya satu kali periode kepengurusan sampai diadakannya Muktamar ke-27 tahun 1984. Sambil menangis, dan juga diikuti tangisan haru para kiai, Kiai Ali memberikan kata sambutan dengan bahasa arab yang fasih, yang intinya menyatakan bahwa beliau bukanlah orang yang terbaik, bila selama memimpin terlihat bengkok agar diluruskan bahkan beliau siap dicampakkan atau dipecat.[9]
Kiai Ali oleh banyak kalangan disebut sebagai “penyelamat NU”, karena : 1) ketika muncul krisis kepemimpinan di NU dan kesulitan memilih orang yang tepat untuk jabatan Rois ‘Am pengganti KH Bisri Syansuri yang wafat, Kiai Ali bersedia dipilih sebagai Rois ‘Am pada 1981 melalui Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Yogyakarta, walaupun dengan sangat berat; 2) ketika NU dilanda kemelut tahun 1983 dengan pengunduran diri DR Idham Kholid sebagai Ketua Umum PBNU (yang belakangan lalu dicabutnya kembali), akibat perseteruan antara kubu politik (kelompok “Cipete”, pimpinan DR Idham Kholid) dengan kubu ulama/non politik (kelompok “Situbondo”, pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin), Kiai Ali tampil merangkap jabatan sebagai Rois ‘Am sekaligus Ketua Umum PBNU untuk membenahi persiapan Muktamar Situbondo 1984, yang menghasilkan keputusan strategis dan monumental, yaitu mengembalikan NU ke khittah 1926; 3) Ketika ada gejolak sebagian aktivis yang ingin, menggoyang Khittah NU 1926 dan membelokkan NU ke partai politik, serta usaha mendongkel Gus Dur dari posisi Ketua Umum PBNU di Munas Alim Ulama NU di Cilacap akhir 1987, maka dengan kewibawaan dan kekarismatikannya Kiai Ali mampu menjadi penjaga gawang-nya sehingga dapat meredam gejolak tersebut. Atas perannya ini Kia Ali secara berkelakar berkomentar: “Wah, saya ini anggota Mustasyar bagian meden-medeni (menakut-nakuti).”
Diantara jasa dan hasil capaian Kiai Ali selama memimpin NU adalah : 1) mampu mengerem usaha menjerumuskan NU ke politik praktis yang lebih dalam; 2) lahirnya keputusan NU kembali ke Khittah 1926; 3) menjaga jarak yang sama antara NU dengan partai-partai politik; 4) mengangkat wibawa ulama/syuriyah; 5) mulai terjadinya regenerasi dalam NU dengan mendorong dan memasukkan generasi muda NU kedalam struktur kepengurusan;[10] 6) hilangnya perpecahan di tubuh NU, tidak ada lagi kubu Cipete dan Situbondo, yang ada adalah kubu NU; 7) membuatkan bekal bagi pengurus dan warga NU dalam meraih sukses organisasi.[11]
Setelah Muktamar ke-27 di Situbondo, Kiyai Ali ditempatkan sebagai salah satu anggota Mustasyar PBNU bersama-sama dengan KHR As’ad Syamsul Arifin, KH DR. Idham Cholid, KH Mahrus Ali, dll.
6. Sifat Kepribadian KH Ali Maksum
Banyak sifat-sifat kepribadian Kiai Ali yang dapat dijadikan sebagai suri teladan terutama bagi para santri, dan sekaligus mempengaruhi tipologi kepemimpinannya di PP Al-Munawwir, diantaranya adalah istiqomah mengajarkan kitab kuning. Sekalipun kesibukan beliau bertumpuk-tumpuk, seperti sebagai seorang muballigh, dosen di IAIN dan pengurus NU (Rois ‘Am) yang sering keluar kota, beliau jarang sekali meninggalkan pengajian dan sorogan yang menjadi rutinitasnya sehari-hari, kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak, terutama di akhir hayatnya yang sering sakit-sakitan.
Kiai Ali berpola hidup sederhana, zuhud, tidak terkesan hidup mewah, dan tampil apa adanya. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi pakaiannya, tempat tinggal, kendaraan dan makanannya yang sangat sederhana, tidak terkesan mewah, bahkan bisa dikatakan tidak layak untuk ukuran dan statusnya sebagai seorang Kiai besar. Keseriusan usahanya dalam pengembangan pesantren seperti pembiayaan pembelian tanah untuk perluasan lokasi pesantren, pengadaan bangunan, fasilitas pesantren dan kegiatan-kegiatan keagamaan (konsumsi majlis taklim, dll), baik dengan dana pribadi maupun dana sumbangan dari berbagai pihak, semua itu menunjukkan sikap kezuhudannya. Bahkan, jauh sebelum wafatnya Kiai Ali sudah mempersiapkan untuk membagi-bagikan seluruh harta kekayaannya tanpa diketahui oleh siapapun dengan cara membuat catatan beberapa lembar kertas yang kemudian disimpan di lemari diantara tumpukan pakaiannya. Isinya : 1) jumlah total berbagai jenis harta benda yang dimiliki (tanah, rumah, pakaian, kendaraan, uang, dll) beserta tempat penyimpanannya, 2/3 harta benda tak bergerak dihibahkan untuk pesantren dan sisanya dihibahkan untuk anak-anaknya; 2) daftar nama orang satu persatu dari kalangan masyarakat tetangga pesantren, para sahabat dan kenalan, sanak kerabat dan putra-putrinya, lengkap dengan angka nominal dan jenis harta yang akan diterimanya, sehingga pada saat wafat, beliau sedikit pun tidak meninggalkan harta warisan. Sungguh, tindakannya ini sesuai sekali dengan isi kandungan syi’iran sholawatan berbahasa Jawa yang beliau gubah dan sering beliau lantunkan di tengah atau akhir memberikan ceramah pengajian, antara sebagai berikut :
Kulo sowan nang Pangeran // Kulo miji tanpo rencang // Tanpo sanak tanpo kadang // Bondho kulo ketilaran //.
Yen manungso sampun pejah // Uwal saking griyo sawah // Najan nangis anak simah // Nanging kempal boten betah //.
Senajan berbondho-bondho // Morine mung sarung ombo // Anak bojo moro tuwo // Yen wis nguruk banjur lungo //.
Yen urip tan kebeneran // Bondho kang sa’ pirang-pirang // Ditinggal dienggo rebutan // Anak podho keleleran //.
Yen sowan kang Moho Agung // Ojo susah ojo bingung // Janji ridhone Pangeran // Udinen nganggo amalan.[12]
Pembawaan Kiai Ali yang tenang, santun dan mengesankan, wataknya yang arif dan bijaksana, serta sifatnya yang lemah lembut, grapyak (mudah menyapa, mudah bergaul) dengan siapa saja yang ditemui, tutur katanya yang manis, serta raut wajahnya yang selalu ceria dan semringah dengan hiasan senyuman yang khas, menyebabkan beliau disukai oleh siapa saja. Demikian pula sikap beliau yang tawadhu’, tidak suka dihormati secara berlebihan apalagi dikultuskan,[13] suka memaafkan kesalahan orang,[14], serta jauh dari sifat pendendam dan dengki, menyebabkan beliau selalu dihormati dan disegani.
Pergaulan KH Ali dengan Para Santri. Kiai Ali sangat dekat hubungannya dengan para santri, dan begitu pula sebaliknya. Kiai Ali hampir hapal semua nama santri, tempat tinggalnya di lokasi pesantren, nama orang tuanya dan asal usul daerahnya. Di hadapan para santri, Kiai Ali bukanlah sosok yang menakutkan. Pada umumnya, para santri merasa takut dan lari atau bersembunyi ketika bertemu dengan kiai, akan tetapi tidak demikian terhadap Kiai Ali. Hubungan Kiai Ali dengan santri seperti layaknya hubungan bapak dengan anak. Kedekatan hubungan ini ditunjukkan oleh kesukaannya bercanda dan bergurau dengan para santrinya, baik secara individu maupun secara jamaah di pengajian. Kalaupun ada santri yang lari atau takut ketika berhadapan Kiai Ali, mereka justru akan dipanggil, baik secara langsung maupun lewat microphone untuk sekedar diajak ngobrol sambil mendengar-kan lagu-lagu kesayangannya atau menonton TV,[15] diajak jalan-jalan keliling pondok sambil mengambili sampah-sampah kering (kertas, plastik dan dedaunan), disuruh memijatnya, disuruh menyapu atau membersihkan kamar pribadinya atau halaman rumahnya, dan lain-lain, sehingga mereka tidak lagi merasa takut dan terasa begitu dekat dengan Kiai Ali.
Kiai Ali sangat rajin mendatangi kamar-kamar santri dan membangunkan mereka untuk diajak shalat subuh berjamaah. Terhadap santri yang dipandang malas dan bandel berjamaah tarawih setiap datangnya bulan Ramadhan, Kiai Ali mengadakan “Tarawih Panggilan” di kediamannya dan diimami sendiri. Ini bukan berarti memberi kesempatan atau peluang untuk bandel, akan tetapi mendidik mereka bahwa dengan sering dipanggilnya mereka, maka lama kelamaan mereka akan sadar dan malu dengan sendirinya.
Demikian pula kedekatan Kiai Ali terhadap para alumninya, yang ditunjukkan oleh seringnya beliau menitipkan salam kepada alumni lewat para tamu, wali santri, atau santri yang kebetulan kenal dan dekat tempat tinggalnya dengan alumni tersebut. Bahkan Kiai Ali sering mampir ke rumah alumni di tengah perjalanannya ke luar kota.[16] Terutama setiap ada event Haul KH Munawwir, para alumni selalu dikirimi undangan untuk meng-hadiri Haul tersebut. Dari sini dapat dikatakan bahwa kedekatan hubungan santri dengan Kiai tetap berlanjut sampai menjadi alumni.
Dalam soal ketaatan “mutlak” santri kepada kiyai hingga sampai pada tingkat pengkultusan, adalah tidak sejalan dengan pandangan kiai Ali. Ketaatan murid terhadap guru sebatas pada hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at dan dilakukan secara wajar.[17]
Kiai Ali sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan pondok. Beliau sering berjalan-jalan sambil mengelilingi pondok. Begitu melihat lingkungan yang kotor dengan berbagai jenis sampah, langsung saja memanggil santri yang ada di situ, terutama para santri yang tidak ikut sorogan untuk diperintah mengambili sampah-sampah tersebut dengan tangannya, karena beliau memang sangat “titen” (ingat, dan teliti) pada santri yang ikut dan yang tidak ikut sorogan. Bahkan terkadang beliau sendiri yang mengambilinya. Selain itu, beliau juga sangat peduli dengan kondisi suatu bangunan yang rusak, kumuh, atau yang tidak layak huni, langsung saja beliau mengerahkan, memimpin dan mengawasi para santri untuk kerja bakti.[18]
Ulama Intelek dan Tokoh Modernis NU. Nama KH Ali Maksum di kalangan masyarakat tidak asing lagi, karena perannya yang begitu besar di berbagai sektor, sebagai pengasuh pesantren, sebagai ulama intelek, sebagai ilmuwan, sebagai tokoh organisasi Islam, modernis NU, dan sebagai pemimpin lainnya.
Kiai Ali merupakan tipe seorang Kiai yang memiliki semangat autodidak yang tinggi. Bagi Kiai Ali, pameo “Belajar sendiri tanpa guru (misalnya mengkaji sendiri kitab yang belum pernah dingaji-kan), maka gurunya adalah syetan” dipandangnya salah kaprah dan tidak berlaku lagi. Pameo itu sebenarnya hanya berlaku khusus pada murid thariqat yang sangat membutuhkan bimbingan spiritual seorang mursyid dalam mendalami ilmu-ilmu haqiqat. Sebab, jika ilmu hakekat didalami sendiri tanpa bimbingan guru terkadang justru dapat menyesatkannya. Berbeda kondisinya dengan para santri yang mendalami ilmu-ilmu syari’at, bahwa kitab-kitab yang dikaji tersebut justru dipandang sebagai guru yang terbaik. tidak pernah berbohong, paling sabar dan tidak pernah marah. Artinya, kitab-kitab tersebut berbicara dengan bahasa tulis apa adanya, terbuka untuk dikoreksi dan dikritik. Berbeda dengan guru manusia yang suka menutupi kekurangannya dan menonjolkan kelebihannya.[19] Pandangan inilah yang melandasi Kiai Ali memiliki semangat otodidak tinggi, berwawasan luas dan dalam, serta berpandangan moderat. Bahkan pandangannya ini sering kali dilontarkan kepada para santri di tengah memberikan pengajian, sehingga mampu mendorong para santri untuk memiliki semangat otodidak yang tinggi seperti yang dimiliki oleh Kiai Ali.
Kiai-Kiai yang seangkatan dengan beliau atau yang lebih sepuh lagi, dan juga kalangan intelektual muda mengakui keluasan ilmunya. Beliau adalah ulama ahli tafsir, hadis, fiqih, bahasa Arab beserta ilmu alatnya, dan berbagai disiplin ilmu lainnya, serta menguasai berbagai macam kitab, baik yang menjadi rujukan ulama tradisional maupun ulama modernis. Bahkan penguasaannya terhadap kitab-kitab rujukan ulama modernis tersebut (seperti karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Sayyid Quthub, Hassan Al-Bana, Muhammad Abduh dan lain-lain) justru melebihi dari para ulama kelompok modernis itu sendiri[20]. Julukan “Munjid Berjalan” oleh masyarakat untuk Kiai Ali Maksum menujukkan keluasan bidang keilmuan yang dikuasainya.
Di kalangan inetelektual muslim dan dunia kampus, Kiai Ali adalah seorang dosen dan guru besar ilmu tafsir di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang benar-benar ahli di bidangnya dan berpandangan luas. Karena keahliannya itu pada tahun 1962, Kiai Ali bersama-sama dengan Prof. KH Anwar Musyaddad, Prof. DR. Muhtar Yahya, Prof. Hasbi Assiddiqi dan lain-lain ditunjuk oleh Menteri Agama RI sebagai anggota tim Lembaga Penyelenggara Penterjemahan Kitab Suci Al-Qur’an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Sunaryo, SH (Rektor IAIN Sunan Kalijaga ketika itu).
Meskipun dekat dengan kalangan akademisi dan intelektual, KH Ali tetap istiqomah mengajarkan kitab kuning kepada para santri Krapyak, dan hampir tidak ada waktu jeda untuk memberikan pengajian umum/ceramah agama kepada masyarakat, baik di pedesaan, didalam kota maupun luar kota Yogyakarta.[21]
Kiai Ali dikenal luas sebagai tokoh modernis NU, yang menjadi motor penggerak terjadinya perubahan dan pembaharuan di tubuh NU melalui sepak terjang generasi muda NU pasca Muktamar Situbondo. Kiai Ali memandang perlu agar kaum muda terutama yang memiliki pemikiran progresif dan semangat pembaharuan diberi kesempatan untuk memimpin NU ke depan. Menurut Martin van Bruinessen, sebagaimana yang dikutip oleh Zainal Arifin Thoha dalam bukunya Runtuhnya Singgasana Kiai, bahwa salah satu alasan yang mendorong Kiai Ali menerima jabatan Rois ‘Am sesungguhnya juga didorong oleh rasa ingin melindungi (gagasan-gagasan) angkatan muda NU, seperti KH Ahmad Shiddiq, KH Sahal Mahfudz, KH Abdurrahman Wachid, KH Musthofa Bisri, DR. Fahmi Saifuddin, dr. Muhammad Tohir, KH Muchid Muzadi, M. Zamroni, Mahbub Djunaidi, Masdar Farid Mas’udi dan lainnya yang kelak dikenal sebagai para penggagas Khittah. Pembelaan terhadap gagasan-gagasan progressif angkatan muda NU tidak hanya sampai di forum Muktamar ke-27 Situbondo yang mengantarkan KH Ahmad Shiddiq dan KH Abdurrahman Wachid sebagai Rois ‘Am dan Ketua Umum PBNU, juga pada Muktamar ke-28 Krapyak Yogyakarta (1989) yang juga mengantarkan keduanya untuk dikokohkan kembali sebagai Rois ‘Am dan Ketua Umum PBNU.[22]
Sejak tahun 1943 Kiai Ali pindah ke Krapyak. Yang pertama kali dirasakan Kiai Ali pada awal kepindahannya ini adalah kuatnya getaran gerakan Muhammadiyah, maklum kota Yogyakarta adalah kota kelahirannya. Kiai Ali yang dikalangan para kiai NU dikenal sebagai salah satu tokoh reformis atau modernis NU ini tidak menunjukkan sikap yang konfrontatif, akan tetapi dengan sikap penuh toleransi, kemudian gerak langkah Muhammadiyah tersebut terus diikuti perkembangannya dengan seksama. Hal ini yang mempengaruhi kebijakannya dalam memimpin pesantren Al-Munawwir, yaitu dengan membuat seimbang antara pengajian Al-Qur’an dan pengajian kitab-kitab kuning agar santri mengetahui ajaran-ajaran Islam ‘ala Ahlussunnah wal Jamaah beserta dalil-dalinya secara proporsional untuk dijadikan sebagai benteng dari pengaruh faham wahhabi yang disuarakan oleh gerakan Muhammadiyah tersebut.
Persinggungannya dengan kaum modernis nampak terlihat antara lain dari cara Kiai Ali mengupas berbagai masalah keagamaan dalam setiap pengajiannya, yang sering diperbandingkan dengan pandangan ulama pembaharu. Jiwa pembaharuan, keluasan ilmunya dan pandangannya yang moderat tidak lepas dari pengalaman masa lalunya di pesantren Tremas yang sangat gemar mengkaji berbagai jenis kitab karangan para ulama salaf dan ulama’ pembaharu,[23] ide-idenya yang segar demi kemajuan pesantren mampu mendorong terjadinya pembaharuan sistem pendidikan di Tremas. Tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali mengatakan, bahwa Kiai Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya menggunakan sistem pesantren ke sistem madrasi.[24]
Bahkan dalam banyak hal pandangan Kiai Ali sejalan dengan pandangan kaum pembaharu, diantaranya seperti masalah mencari ilmu yang harus diperoleh melalui belajar (Innamal ‘ilmu bit-ta’allum) dan didukung dengan makanan yang bergizi untuk meningkatkan kecerdasan, bukan dengan mengandalkan semangat pencarian melalui laku spiritual (laduni), wirid, perilaku ngrowot dan lelakon nyeleneh lainnya. Oleh karena itu Kiai Ali hampir tidak pernah mengajak santrinya hidup prihatin atau tirakat dengan menjauhi makanan tidak bergizi, selain ibadah puasa sunnah yang disyari’atkan.
Latar belakang kehidupan keilmuan Kiai Ali yang dinamis, berwawasan yang sangat luas, dalam dan moderat, dengan dukungan referensi yang multidisipliner, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi tersebut, sedikit banyak tentu mempengaruhi pendidikan dan pengajaran yang diberikannya kepada para santri. Tidak mengherankan jika para alumni yang pernah mendapatkan didikan dari Kiai Ali tidak sedikit yang menjadi tokoh masyarakat, intelektual, dan kiai-kiai pengasuh atau pendiri pesantren yang berwawasan luas, mendalam dan moderat disebabkan referensinya yang sangat luas, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi.[25]
6. Wafatnya KH Ali Maksum
Ketika dilangsungkan Muktamar NU ke-28 di pesantren Al-Munawwir Krapyak, sebenarnya beliau sudah sakit sejak beberapa saat sebelumnya. Meskipun demikian, sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab atas sukses dan tidaknya Muktamar, beliau masih sempat mengkomando panitia pelaksana yang sebagian besar adalah santrinya lewat mick speaker dari kamarnya. Ketika Presiden Soeharto dan beberapa menteri serta para kiai peserta muktamar menjenguknya, Kiai Ali juga masih sempat menerima mereka dengan berbaring di kamarnya.
Wal hasil, Muktamar dapat berjalan dengan sukses, dengan mengantarkan kembali KH Ahmad Shiddiq sebagai Rois ‘Am dan KH Abdurahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode yang kedua kalinya. Seminggu setelah Muktamar, KH Ali Maksum jatuh sakit dan dirawat di RS DR Sardjito selama seminggu, kemudian wafat ketika adzan Maghrib berkumandang pada pukul 17,55 WIB di hari Kamis malam Jum’at, tanggal 7 Desember / 15 Jumadil Awwal 1989 dalam usia 74 tahun. Jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at dan dikebumikan berdampingan dengan makam KHM Munawwir di dusun Senggotan (Dongkelan) Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta.
Beliau wafat dengan meninggalkan seorang isteri, Nyai Hj. Rr. Hasyimah Munawwir dan 8 orang putra-putri : 1) Adib (wft masih kecil), 2) KH Atabik Ali, 3) H. Jirjis Ali, 4) Nyai Hj. Siti Hanifah Ali, 5) Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali, 6) Nafi’ah (wafat masih kecil), 7) M. Rifqi Ali (Gus Kelik), dan 8) Hj. Ida Rufaidah Ali.
Selain itu beliau juga meninggalkan :
1). Lembaga pendidikan yang begitu besar (madrasah dll), yang pada masa selanjutnya dikelola oleh Yayasan Ali Maksum Pondok Peantren Krapyak Yogyakarta pimpinan KH Atabik Ali;
2). Karya tulis yang meliputi :
a. Mizanul ‘Uqul fi Ilmil Mantiq, yang berisi prinsip-prinsip dasar ilmu mantiq
b. Ash-Shorful Wadhih, yang berisi kaidah-kaidah dan amtsilatut tashrif (latihan praktis tashriful kalimah) dengan metode baru temuan KH Ali Maksum.
c. Hujjatu Ahlissunnah Wal Jama’ah, berisi kajian dalil-dalil / argumentasi syar’iyyah yang dijadikan sebagai dasar berpijak kaum nahdhiyyin dalam melaksanakan amaliah atau tradisi ke-NU-an.
d. Jawami’ul Kalim : Manqulah min ahadits al-Jami’ ash-shoghir murattabah ‘ala hurufl hijaiyyah ka ashliha, berisi koleksi hadis-hadis pendek yang mengandung pemahaman yang luas dan dalam, yang dicuplik dari kitab al-Jami’us Shoghir.
e. Ajakan Suci : Pokok-pokok Pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama, merupakan kumpulan makalah tulisan KH Ali Maksum yang tersebar di Majalah Bangkit, surat kabar, forum seminar, dan media cetak lainnya
f. Eling-eling Siro Manungso, yang berisi kumpulan syi’iran sholawatan berbahasa Jawa gubahan KH Ali Maksum.
Sumber :
[1] ) A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum : Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 1989, cet.1, halm. 6-7
[2] ) Meskipun putra seorang kiyai besar, Ali Maksum tidak suka dipanggil “Gus” sebagaimana yang lazim digunakan untuk memanggil semua putra kiyai, melaikan lebih suka dipanggil “Wak”. Mungkin kata ini berasal dari “Uwak” yang lazim digunakan sebagai panggilan kehormatan untuk orang-orang yang dituakan
[3] ) “Munjid” merupakan judul buku kamus atau ensiklopedi bahasa arab terlengkap di dunia yang ditulis oleh Louis Ma’luf dari Libanon.
[4] ) Gus Hamid atau KH Abdul Hamid dari Pasuruan, yang lebih dikenal dengan panggilan “mBah Hamid” ini merupakan seorang ulama’ kharismatik, pengasuh sebuah pesantren di Jl. Jawa Pasuruan, oleh kaum muslimin pada umumnya dipandang sebagai seorang Waliyullah yang memiliki banyak karomah. Beliau adalah seangkatan KH Ali Maksum sewaktu nyantri di pesantren Tremas, dan menjadi besannya dengan dinikahkannya Gus Nasikh bin KH Hamid dengan Ny.Hj. Durroh Nafisah binti KH Ali Maksum.
[5] ) KH A. Mukti Ali, KH Ali Ma’shum Itu Guru Saya, dalam A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum: Perjuangan …., ibid., halm. Ix.
[6] ) A. Zuhdi Muhdlor, ibid. halm. 17 (wawancara A. Zuhdi Mukhdlor dengan KH Ali Maksum, 1 Oktober 1989).
[7] ) Semua peserta harus mentaati instruksi atau tata aturan Kiyai Ali. Yang melanggar akan kena hukuman. KHA Warson pernah dihukum berdiri dan diikat di tiang masjid sampai pengajian selesai, gara-gara beliau tidak menghafalkan bait-bait alfiyah. (Wawancara dengan KHA Warson, 04-09-2010).
[8] ) A. Zuhdi Mukhdlor, op.cit., halm. 78-77.
Tentang kemasyhuran nama KH Ali Maksum dan pesantren Al-Muanwwir di dunia internasional, bahwa berkat jasa KH Ali Maksum atas kepeloporannya dalam menolak dan menggagalkan rencana penyelenggaraan Konferensi Dewan Gereja Se-Dunia di Indonesia. Kepeloporan ini ternyata gaungnya sangat kuat di Negara-negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi, sehingga Sekjen Rabithah ‘Alam Islami, Syaikh Ali Al-Harakan mengirimkan utusan khusus menemui beliau untuk mengucapkan terima kasih, bahkan Raja Faishal dari Saudi Arabia memberi hadiah kenang-kenangan kepada beliau berupa gedung bertingkat dua yang menyatu dengan kediamannya.
[9] ) A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 90-91
Diantara sambutannya berbunyi :
يَا اَللَّهُ اِنَّنِيْ ذَلِيْلٌ فَأَعِزَنِيْ وَ اِنَّنِيْ فَقِيْرٌ فَأَغْنِنِيْ وَ اِنَّنِيْ ضَعِيْفٌ فَقَوِنِيْ يَا اَللَّهُ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. يَا سَادَتِيْ اِنِّيْ قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ وَ إِذَا رَاَيْتُمْ فِيَّ اِعْوِجَاجًا فَقَوِّمُوْنِيْ وَاعْزِلُوْنِيْ وَاطْرَحُوْنِيْ فِى الْمِزْبَلَةِ
Artinya: “Ya Alloh, sungguh kami ini hina, maka tinggikanlah kami. Kami ini fakir, maka kayakanlah. Kami ini lemah, maka kuatkanlah. Ya Arhamarrohimin. vWahai kawan-kawan, sungguh kalian telah memberi kami kekuasaan, padahal kami bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Karena itu,jika kalianmelihat kami berlaku bengkok, maka luruskanlah kami, tinggalkanlah kami dan bahkan campakkan kami ke tempat kotoran….”
[10] ) Salah satu pidato Kiyai Ali yang monumental soal pentingnya regenrasi, sebagai berikut :
“ …. Marilah kita terima kehadiran generasi muda, karena wujudnya generasi muda ini adalah termasuk salah satu kewajiban yang harus kita wujudkan. KApan mereka menjadi dewasa kalau tidak kita tuntun mulai sekarang, dan kapan pula mereka mempunyai rasa tanggung jawab, kalau tidak mulai sekarang kita latih untuk melaksanakan tugas perjuangan ini” (A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 89).
[11] ) A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 86-106
…. Begitu intens keterlibatan KH Ali Maksum dalam NU seolah NU menjadi jiwanya. Bahkan dengan serius Kiai Ali membuatkan bekal bagi pengurus dan warga NU dalam meraih sukses organisasi. Bekal yang dimaksud adalah 1) Ats-Tsiqotu bi Nahdlotul Ulama; 2) Al-Ma’rifatu wal Istiqon bi NU; 3) Al-Amalu bi Ta’limi NU; 4) Al-Jihadu fi Sabili NU; dan 5) Ash-Shobru fi sabili NU. (Ibid., halm. 98 – 106).
[12] ) Isi kandungan dari “syi’iran sholawatan” gubahan Kiai Ali tersebut mengingatkan kaum muslimin tentang kondisi kehidupan yang mesti dialami oleh setiap orang yang wafat. Ketika wafat, seseorang akan berpisah dari keluarga dan harta bendanya. Setelah mengantarkan ke kuburan, mereka akan meninggalkannya. Seluruh harta yang ditinggalkannya tidak akan dibawa, kecuali selembar kain kafan, bahkan hartan itu akan menjadi rebutan. sewaktu sowan kehadirat Alloh sendirian dan tanpa ditemani seorang pun, kamu tidak perlu susah dan bingung. Yang penting, kerjakan amal sholeh (selama masih hidup di dunia) untuk meraih ridho Allah.
[13] ) Ke-tawadhu’-an dan tidak suka dihormati secara berlebihan nampak pada sikapnya yang lebih suka dipanggil “Pak Ali” daripada “KH Ali”, “mBah Kiai Ali”. Beliau tidak menyukai orang yang mencium tangannya sambil dibolak-balik ketika bersalaman, berjalan “ngesot” ketika sowan sebagaimana yang dilakukan abdi dalem kepada rajanya di Kraton, menundukkan kepala dan diam seribu bahasa seperti patung ketika berhadapan dengan kiai dan lain-lain. Hal ini disamping untuk menghindari pengkultusan juga menunjukkan sikap ketawadhu’annya dan kedekatan hubungannya dengan para santri.
[14] ) Ketika terjadi kasus penganiayaan “pemukulan” yang dilakukan oleh pemuda Dirman (mantan santrinya yang terganggu kejiwaannya), terhadap Kiai Ali sesuai memberikan ceramah Haul almarhum KH Bisri Mustofa di pondok Rembang, semua orang dari berbagai pihak (keluarga, para santri, kaum muslimin khususnya nahdhiyyin, pemerintah, militer dll) merasa gerah dan menginginkan agar pelakunya dihukum berat, namun beliau dengan lapang dada justru memaafkannya tanpa satu pun syarat, bahkan ibunya yang jualan di pasar Lasem diberi bantuan uang untuk tambahan modal, sekalipun kasus tersebut berakibat fatal terhadap kesehatannya, dimana sejak saat itu beliau sering sakit-sakitan sampai wafatnya. (Wawancara dengan KH Atabik Ali (18-07-2010), KH. Munawwir AF (17-07-2010), dan bandingkan dengan A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum : Perjuangan ….., halm. 29-31
[15] ) Menurut pengakuan Prof. DR. KH Agiel Siroj, MA, bahwa sewaktu menjadi santri di Krapyak, dirinya sering diajak Kiyai Ali nonton TV bareng penampilan petinju Muhammad Ali di kamar pribadinya. Ini menunjukkan kedekatan emosional dan spiritual murid dengan guru. (M. Dawam Sukardi, Prof. DR. KH Agiel Siroj, MA :: NU Sejak Lahir , Dari Pesantren Untuk Bangsa; Kado Buat Kyai Said. Jakarta : SAS Center, 2010, halm. 40)
[16] ) Pada bulan syawal tahun 1982, setelah menghadiri acara Halal Bihalal di Surabaya, Kiyai Ali mengunjungi alumni angkatan 1970-an, H. Asa Asy’ari dan Afif Chozin di Tambak Osowilangun Benowo Surabaya, kemudian mampir ke rumah penulis dan sekaligus diajak kembali ke pesantren Krapyak. Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, beliau mampir mengunjungi salah seorang pengurus PWNU Jatim, KH Hasyim Lathif di daerah Sepanjang Sidoarjo, kemudian sesampainya di Solo beliau mampir lagi mengunjungi KH Umar di PP Al-Muayyad Mangkuyudan Solo dan istirahat beberapa jam, lalu melanjutkan perjalanannya.
[17] ) Wawancara dengan Drs. KH Henry Sutopo, 17-07-2010
[18] ) Wawancara dengan KH Asyhari Abta, M.Pd.I, 18-07-2010
[19] ) Wawancara tanggal 17 Juli 2010 dengan KH A. Warson Munawwir, KH Asyhari Abta, KH Munawwir AF, KH Heri Sutopo
[20] ) M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta : Gelegar Media Indonesia, 2009, cet.1, halm
[21] ) Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai. NU, Pesantren dan Kekuasaan : Pencarian Tak Kunjung Usai. Yogyakarta : Kutub, 2003, cet.1, halm. 272
[22] ) Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai. NU, Pesantren dan Kekuasaan : Pencarian Tak Kunjung Usai. Yogyakarta : Kutub, 2003, cet.1, halm. 280
[23] ) Kegemaran dan kecintaan Kiyai Ali dalam mengkaji kitab-kitab tersebut terus berlanjut ketika menjadi pengasuh PP AL-Munawwir Krapyak. Hal ini terlihat pada banyaknya kitab-kitab yang memenuhi lemari-lemari perpustakaan pribadi di rumahnya. Saking cintanya terhadap kitab-kitab pribadi tersebut membuat Kiyai Ali terbilang “bakhil”, yakni bakhil dalam pengertian tidak akan meminjamkan kitab tersebut keluar rumah, khawatir tidak dikembalikan, karena berkali-kali kitab beliau “hilang” karena tidak dikembalikan oleh peminjamnya. Oleh karenanya, setiap lemari perpustakaan pribadinya terdapat tulisan “Boleh dibaca, Haram Dibawa”. (Wawancara dengan Drs. KH Heri Sutopo, 17 Juli 2010).
[24] ) KH A. Mukti Ali, KH Ali Ma’shum Itu Guru Saya, dalam A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum: Perjuangan ….op.cit., halm. Ix.
[25] ) Para santri alumni didikan Kiyai Ali antara lain: Prof.DR.KH A Mukti Ali (Guru Besar Fak Usuluddin IAIN Yogya, mantan Menteri Agama RI), KH A. Mustofa Bisri (Rembang), KHM Cholil Bisri (Rembang), KHM Yusuf Hasyim (Tebuireng), KH Maksum Ahmad (tanggulangin Sidoarjo : Pengasuh pesantren dan muballigh), KH Abdul Aziz Masyhuri (Jombang: Pengasuh pesantren), KH Abdurrahman Ar-Roisi (Jakarta: penulis dan muballigh), KH Masdar Farid Mas’udi, Drs. H. Slamet Efendi Yusuf, Prof.DR. KH Said Agiel Siroj, MA, Prof. DR. Yudian Wahyudi, KH Zainal Abdin Muanwwir, KH Ahmad Warson Munawwir, KH Drs, Asyhari Abta, M.Pd.I, KH Munawwir AF, KH Drs. Henry Sutopo, KH Drs, Asyahri Marzuki, Lc., KH DR. Malik Madani, MA., dan lain-lain.
Item | Biografi KH ALI MAKSHUM (Al Munawwir) |
Rating | 5 / 5 |
Reviewer | A.P.I AL FADHLU |
Date | 8/31/2012 |
Description | |
Summary | Sekilas Biografi KH ALI MAKSHUM 1. Masa Kecil KH Ali Makshum KH Ali Maksum adalah putra pertama dari hasil perkawinan KH Ma’shum bin KH... |
Pada
8/31/2012
8/31/2012
Tentang Kami
A.P.I AL FADHLU : Asrama Pendidikan Islam Al Fadhlu adalah Pondok Pesantren yang masih menerapkan metode pendidikan ala salaf namun berpijak dan berprinsip pada "AL MUHAFAZHOTU 'ALAL QADIMISH SHALIH WAL AKHDZU BIL JADIDIL ASHLAH"(Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan) sebagai mottonya. Ikuti kami juga di G+ @ A.P.I AL FADHLU .
Langganan Artikel Lewat Email
Silahkan isi formulir di bawah ini
Langganan artikel terbaru dari kami langsung dikirim ke em@il anda gratis.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
: 0 Tidak ada komentar ...
Posting Komentar ANDA
Komentar Anda adalah bagian dari Shilaturrahim ... :-)